Kuri membuka mata. Di atas kepalanya berayun-ayun serangkaian huruf yang disusunnya
semalam. Pelan-pelan dia membacanya, “ Ke pantai.”
Seketika dia melompat dari tempat tidurnya. Bug! Gedebug! Suara kakinya beradu
dengan lantai kayu.
“Yuhuuu…! Aku akan ke pantai hari ini!”
Semoga saja dia tidak kesiangan. Sudah setinggi apa matahari pagi ini? Kuri mengintip
dari jendela.
“Ahhh, mengapa mendung?”
Kuri melihat langit yang berwarna abu-abu. Seketika hatinya ikut kelabu. Pemandangan
di luar sangat tidak menarik. Hilang sudah semangatnya pagi ini.
“Sepertinya aku mendadak merasa sakit.” Dengan lesu Kuri kembali rebah di tempat
tidurnya, lalu menarik selimut hingga menutup kepalanya.
Kuri merasa sudah tertidur cukup lama ketika Mama Kurica membangunkannya.
“Sarapanmu hampir dingin, Kuri.”
Ada semangkuk sup jagung di tangan Mama Kurica.
Apa aku benar-benar sakit?
“Katanya Kuri mau pergi ke pantai hari ini, kenapa tidak jadi? Apa Kuri tidak enak
badan?”
Mama Kurica menempelkan punggung tangannya di dahi Kuri.
“Badanmu tidak hangat. Tapi kenapa Kuri terlihat lemas?”
Kuri menggelengkan kepalanya.
“Aku kehilangan semangat, Mama.”
“Kalau begitu, makanlah, supaya semangatmu kembali. Kakak-kakakmu sudah berangkat
ke pantai pagi tadi.”
Kuri bangun dan duduk bersandar. “Bukannya pagi tadi mendung, Mama?”
Mama menggeleng. “Tidak, sayang. Tadi pagi cerah sekali.”
Dari pintu kamarnya yang terbuka, Kuri bisa melihat kamar Kukis, kakaknya, yang
tampak terang. Sepertinya hari memang cerah di luar sana.
***
Baru menjelang sore saudara-saudara Kuri pulang dari pantai. Mereka terlihat senang dan
tertawa-tawa riang.
“Lihat! Aku berhasil mengumpulkan kerang-kerang kecil yang cantik. Aku akan
membuat hiasan dinding dari kerang-kerang ini,” kata Kak Kulila.
“Aku tadi mengumpulkan kerang-kerang besar. Akan aku masukkan ke dalam akuarium.
Bisa jadi rumah-rumahan untuk ikan-ikan kecilku,” ujar Kak Kukis.
Kuri tersenyum kecut. Sebenarnya dia ingin mengumpulkan pasir putih dalam botol-botol
kecil yang cantik.
Kak Kukis menepuk-nepuk kepala Kuri.
“Jangan sedih Kuri. Besok kita ke Bukit Capung, yuk! Kita berangkat pagi, selagi
capung-capung terbangnya masih lambat.”
Wajah Kuri berseri lagi. “Bangunkan aku, ya, Kak!”
***
Kuri yang suka lupa semalam sudah merangkai huruf lagi di atas tempat tidurnya. Huruf-
huruf itu berbunyi : Bukit Capung.
Pagi itu Kuri membacanya dan dia senang karena bisa bangun sebelum dibangunkan oleh
kakaknya. Dia berguling ke samping untuk melihat jendela.
“Yah…, mendung lagi! Hujan pula!”
Kuri melihat ada tetesan air di kaca jendelanya. Batal lagi acara jalan-jalannya hari ini.
Hatinya yang gembira tadi mendadak berubah menjadi sedih dan muram.
Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya diketuk dan terbuka. Kak Kukis dan Kak Kulila
sudah siap dengan jaring di tangan mereka.
“Ayo, Kuri!”
Kuri menunjuk ke jendela. “Tapi hujan, Kak.”
Kukis dan Kulila berpandangan.
“Siapa bilang hujan? Pagi ini cerah, kok!” kata Kak Kulila.
Kukis menghampiri jendela dan membukanya.
“Lihat, Kuri! Bukan langit yang mendung, tapi kaca jendelamu yang tidak pernah kamu
bersihkan. Lihat, debunya tebal sekali!”
Ahh! Sekarang Kuri mengerti, mengapa dia selalu melihat langit yang kelabu. Tetesan
air yang dia lihat pun bukan air hujan, tetapi embun. Hampir saja Kuri gagal lagi bersenang-
senang hari ini, hanya gara-gara dia malas membersihkan kaca jendelanya.
Kuri lalu mengusap kaca jendela dengan kain yang dibawakan Kak Kulila. Benar saja,
sinar matahari sekarang leluasa memasuki kamarnya. Hari yang cerah!
*****