Meski
sudah satu tahun menikah, karena harus tinggal di kota yang berbeda, maka pengalaman
memasak saya terutama memasak untuk suami terbilang masih nol besar, none! Maka ketika akhirnya saya dan suami bisa
tinggal satu rumah, apalagi kemudian saya memutuskan untuk tidak bekerja di
luar rumah, urusan memasak mau tidak mau harus mulai saya pelajari.
Masak
apa hari ini sudah bukan merupakan masalah utama karena mencari #resepsehat
masakan sudah semudah mengayunkan jari, berkat adanya teknologi. Asal mengikuti petunjuk yang ada di resep pun
masakan yang kita buat bisa dipastikan akan enak rasanya. Tapi, sudah tepatkah masakan kita bagi
kesehatan keluarga kita?
Pesan
dari ibu saya maupun ibu mertua akan selalu saya ingat : jangan kebanyakan
garam dan gula. Karena konon ada
keturunan darah tinggi di keluarga saya dan gula tinggi di keluarga suami. Oke, diabetes dan darah tinggi memang bukan
penyakit keturunan, tapi bisa ‘menurun’ kalau kami masih menerapkan pola makan
yang sama dengan keluarga kami sebelumnya.
Baiklah, pola ini yang harus diputus untuk kebaikan keluarga dan
anak-anak kita nantinya. Hitung-hitung juga bisa menghemat belanja pada pos
gula dan garam. Iya kan? :)
Saya
sendiri sudah sejak lama hobi meminum teh tawar, karena menurut saya kenikmatan
rasa teh akan berkurang meski hanya oleh sepucuk sendok gula saja. Jadi dimulailah tradisi baru dalam keluarga
kami, yaitu : teh tawar, atau teh madu sebagai pengganti gula. Botol sirup yang ada dalam lemari pendingin
pun awet, karena hanya berkurang kalau ada tamu saja.
![]() |
source : newfrontier[dot]com |
Ketika
jajan di luar pun kami terbiasa memesan ‘teh anget tawar’ atau ‘jus anu gulanya
dikit aja’. Ah ya! Kami berdua termasuk
penggemar berat kuliner, jadi prosentase antara jajan atau masak sendiri bisa
dibilang 50:50. Dan suami saya yang berlidah
peka seringkali spontan berucap, ‘emm…kuahnya rasa micin banget nih!’. Ya, selain
gula dan garam, pemakaian penyedap rasa pun harus kami perhatikan. Sejak itu saya menertibkan lemari bumbu saya,
No MSG allowed! Penyedap sintetis yang pemakaiannya
terkadang sudah irrasional di luar
sana sebisa mungkin kita minimalisasi kehadirannya di dalam rumah kita sendiri.
Prinsip
menghemat gula dan garam yang tadi saya sebutkan tidak berlaku dalam pemakaian
minyak goreng. Saya membiasakan menggoreng
dengan minyak sedikit, sehingga ketika berkurang saat digunakan, saya hanya
perlu menambahkannya saja. Ketimbang
menggunakan minyak dalam jumlah banyak, namun bersisa dan digunakan berulang
kali karena merasa sayang untuk membuangnya.
Kalaupun
ingin menghemat pemakaian minyak goreng, sesekali saya memilih masakan (lauk)
yang tidak perlu digoreng, misalnya : tempe/tahu/ayam bumbu bacem tanpa
digoreng lagi, atau masakan yang dikukus, seperti : tum tahu daging atau garang
asem ayam.
Masih
banyak lagi tradisi sehat yang keluarga kami jalankan, meski sebagian masih
dalam tahap belajar. Bagaimanapun kebahagiaan
adalah tujuan utama dari suatu keluarga, dan keluarga yang sehat ada di dalam
kebahagian tersebut.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari
http://www.resepsehat.com persembahan SunCo Minyak Goreng Yang Baik.
Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”