Monday, December 12, 2016

Ini Aku, Nala! (Dimuat di Majalah Gadis No.24 tahun 2016)




Intuisi adalah bisikan hati.  Seharusnya aku dengarkan saat bangun pagi tadi, saat tiba-tiba saja seragam olahraga yang sudah kusiapkan dari semalam menebarkan aura horor.
Aku tidak bisa berkelit.  Begitupun tiga temanku yang lain.  Mereka harus berada satu regu denganku, yang hanya akan membuat mereka harus bekerja lebih keras supaya nilai kelompok kami tidak buruk.  Oh, semoga mereka tidak kesal.
Takut-takut kuhampiri teman-teman satu regu yang sudah mulai berdiri berkelompok.  Meski mereka tersenyum namun gemetar di kedua kakiku tidak juga reda.  Begitupun geliat di dasar perutku.
“Kamu pelari pertama, ya.  Lari saja sekuat yang kamu bisa, Nala.”
Tidak kuperhatikan siapa yang berbicara karena aku sibuk mengangguk kuat-kuat.  Seolah-olah setiap hentakan kepala bisa mengatur irama jantungku yang berdentam tanpa harmoni.
Ketika semuanya berakhir, aku mendapati diriku terhempas di rerumputan di tepi lapangan.  Tidak buruk, reguku berada di urutan ketiga dari enam regu.  Perlahan aku bisa merasakan otot-otot di seluruh tubuhku melemas dan telapak tanganku kembali memerah jambu.
***
“Katanya Mamanya Danis juga koleksi anggrek.  Aduh….” Mata Nurma memejam gemas sebelum kembali terbuka lebar ke arahku.  “Kamu datang, kan, Nala?”
Tentu saja tidak.  Itu jawaban jujur yang spontan keluar dari hati.
Tapi untuk Nurma, yang keluar adalah jawaban : belum tahu.
Aku pura-pura mencurahkan perhatian pada buku yang terbuka di depanku.  Seketika logaritma menjadi tidak seberapa menakutkan ketimbang sebuah undangan ulang tahun.
Jawaban pendekku rupanya tidak begitu berarti bagi Nurma.  Selintas kerling saja aku sudah tahu apa yang sedang dia kerjakan dengan pensil di tangannya.  Melukis anggrek.  Andai Nurma sedikit memaksa supaya aku hadir, meski hanya basa-basi, mungkin hatiku akan tergerak.
***
Berat rasanya melangkahkan kaki menuju kantin.  Tapi Mama bilang aku harus berusaha.
Sudah pasti akan ramai.  Membayangkannya saja sudah membuat dahiku basah.
Pundakku luruh di dinding sisi luar kantin.  Berada di tepian sudah menjadi kebiasaanku karena selalu ada tempat untuk bersandar saat kedua lututku goyah.  Tak apa meski aku akan terlihat seperti tanaman merambat di sini.
“Hei, kamu kenapa?”
Sial.  Aku bertahan untuk terus menunduk.  Namun pemilik suara itu justru membungkuk untuk melihat wajahku lebih jelas.
“Kamu pucat.  Masih bisa jalan?  Aku antar ke UKS, ya?”
Aku merasakan kotak bekal yang jatuh menimpa kakiku karena kedua tanganku spontan bergerak menutupi wajahku setelah sempat mata kami bertemu.  Aku tidak mengenalnya.  Belum pernah bertemu dengannya.
“Buruan ke UKS deh, kalau pingsan di sini bakalan repot ngangkutnya…”
Seloroh anak-anak lain yang berdiri di belakang murid asing itu membuat badanku meluncur ke bawah, berhenti pada posisi berlutut.  Aku paham.  Aku hapal betul reaksi mencemooh semacam itu.
“Tolong…, pergi…pergi…  Biar aku di sini saja.”
Sepertinya cowok tadi kakak kelas.  Tangannya bergerak mengambil kotak bekal yang terjatuh tadi dan meletakkannya di pangkuanku.  Pandanganku masih kuarahkan pada bebatuan bulat di bawah kakiku. 
Dengan mata kuikuti ketiga pasang kaki yang bergerak menjauh.  Setelah akhirnya sanggup mengangkat kepalaku, aku masih bisa menangkap punggung cowok tadi.  Cowok yang, hmm… ramah.
Aku kembali bisa menguasai kedua kakiku tepat saat bel menjerit.  Misiku untuk menguasai kantin lagi-lagi gagal.
***
Tidak ada yang mau bermain bersamaku.  Kata mereka aku terlalu berat untuk didorong saat kami bergantian bermain ayunan.  Aku yang belum bisa naik sepeda selalu mereka tinggal karena tidak ada yang mau membawaku di boncengannya.
“Nala payah, sih! Nggak usah ikut lompat tali, ya.  Nonton saja di pinggir!”
Vonis mereka jatuhkan.  Setelah berulangkali aku terjungkal saat harus berjongkok memegang tali, dan selalu tersungkur karena terjerat tali karet yang terbentang tak seberapa tinggi.
***
“Nala!  Ada Nurma!”  Panggilan Mama terdengar dari kaki tangga.
“Kamu tidak pergi ke ulangtahun Danis?  Masih belum enakan badanmu?”  tanya Mama saat aku melintas menuju ruang tamu.  Pasti Nurma yang memberi tahu Mama.
Punggung tangan Mama singgah di dahiku.  Tentu saja normal.  Seharian ini aku tidak bertemu dengan siapa-siapa.  Demam tadi pagi karena reaksiku terhadap peristiwa kemarin saja.
“Ternyata rumah Danis dekat dengan rumahmu, ya.  Jadi sekalian saja aku tengok. Kata Bu Guru kamu sakit...”
Nurma yang selalu tersenyum dan tertawa-tawa membuat hatiku menghangat.  Kepala teman satu bangkuku itu bergerak ke kanan dan ke kiri dengan sorot mata yang sepertinya ingin menggodaku.
“Kalau sudah sehat, datang yuk, ke ultah Danis.”
Tiba-tiba aku merasa ciut.  Datang ke pesta?  Bagaimana kalau mata-mata mereka mencemooh?  Bagaimana kalau aku terlihat aneh dengan baju pestaku?
“Temani aku melihat-lihat kebun bunga di rumah Danis.  Mau, kan?”
Otakku masih berproses.  Berusaha untuk sepakat dengan kata hati.
Mataku terpejam.  Biasanya dengan begitu akan lebih mudah menangkap kemana hatiku bergerak.
“Berangkat saja, Nala.  Kamu bisa bawa satu tas rajut yang baru selesai Mama bikin itu sebagai kado.”
Nurma pun memekik senang saat kemudian aku beringsut untuk bertukar pakaian.
***
Mama tentunya sudah berbagi cerita pada Nurma saat aku bersiap-siap tadi, karena selama di rumah Danis dia berusaha untuk selalu bercakap denganku.  Jadi aku tidak sempat memperhatikan sekelilingku dan berhalusinasi seolah-olah semua orang sedang mengamati dan menilai…penampilanku.
Selama sepuluh menit berada di kebun belakang rumah Danis yang menjadi arena pesta, aku sedikit bisa menikmati musik yang mengalun.  Belum ada dahi yang basah dan keringat yang menetes dari puncak hidungku.  Aku membayangkan sedang berada di dalam kamarku sendiri, bersantai dengan iringan lagu dari radio.  Happy place…, happy thought….  Begitu self therapy yang Mama ajarkan padaku. 
Sekalinya aku memberanikan diri untuk mengedarkan pandanganku, mataku terpaku pada sosok yang juga sedang melihat ke arahku.  Sedetik, dua detik, kemudian orang itu melambaikan tangan.  Aku membuang muka dengan gugup lalu mencoba berkonsentrasi pada cerita Nurma tentang aneka rupa anggrek berwarna ungu.
Tapi rupanya Nurma seorang penjaga yang baik, pengawasannya cukup lekat.  Matanya menangkap sekilas lambaian tangan tadi.  Mata kocak itupun membulat.
“Kamu kenal Akmal?  Eh, Kak Akmal?”
“Engg…, siapa?”
Nurma mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungku.
“Yang melambai ke arah kamu tadi.”
“Nggak…, aku nggak kenal.”  Kepalaku menggeleng kuat-kuat.
Jadi namanya Akmal.  Sepertinya dia baik.  Tapi teman-temannya kemarin…, aku menggigil selagi mengingat kejadian siang itu.
Kugamit tangan Nurma, mengajaknya menjauh.
“Ayo, kita cari anggrek yang kamu maksud tadi.”
***
Hari ini sudah ketiga kalinya aku makan siang di kantin.  Nurma yang berkeras mengajakku.  Dia berjanji akan menemani dan membantuku mengatasi situasi.  Aku hanya minta supaya kami duduk di meja di sisi terluar, sedapat mungkin menjauh dari keramaian. 
Meja yang kami pilih adalah satu dari tiga meja yang ukurannya paling kecil dengan dua kursi sebagai pasangannya.  Sejauh ini aku bisa bersahabat dengan suasana.
Tiba-tiba terdengar kursi yang ditarik dan sebuah sapaan, “Kamu teman sekelas Danis ya?”
Sontak aku memejamkan mata, menahan perih di pangkal hidungku karena tersedak kuah pedas dari bakso yang aku tengah aku santap. 
Namun Nurma membacanya sebagai serangan panik.  Buru-buru dia mengajak Akmal ngobrol supaya aku punya waktu untuk bermeditasi kilat.
“Kakak kemarin datang juga, ya, di ultahnya Danis.  Tapi kelihatannya anak-anak kelas XII nggak ada ya, selain Kakak?”
Aku bisa merasakan perhatian Akmal beralih pada Nurma.
“Memang nggak ada anak kelas atas yang diundang, kok.  Aku kan masih keluarga Danis.  Aku sepupunya.”
‘Oh’ panjang keluar dari mulut Nurma.  Lalu kulihat dia menatap kaget ke arahku.  Rupanya aku juga bereaksi yang sama.  Mulutku menggumamkan ‘Oh’ meski terdengar samar.
Debaran di dadaku tidak sehebat biasanya bila berhadapan dengan orang asing.  Mungkin keberadaan Nurma yang menjadi penyebabnya.  Di seberang meja dia mengulas senyum menenangkan.
Tanpa aku sadari Akmal memperhatikan telapak tanganku yang membuka dan menutup berulang kali.
“Kamu masih belum sehat?  Tanganmu seperti waktu itu.  Pucat dan basah,” katanya.
Buru-buru kuraih sapu tangan di samping gelas.  Aku selalu membawanya untuk kugenggam bila basah di telapak tangannku tak tertahankan.
“Nala begitu kalau sedang gugup,” sergah Nurma.  Lagi-lagi dia membantuku bersuara.  Tapi tatapan matanya seolah memintaku untuk mencoba berkata-kata.
“I…iya, Kak.  Aku nggak papa, kok.  Terimakasih.”
Tak disangka Nurma bertepuk tangan.  Sepertinya dia terlalu gembira melihat usaha kerasku.  Kelakuan sahabat baruku itu justru membuatku jengah.  Kepalaku kembali tertunduk.
“Oh, aku juga kadang begitu kalau sedang tampil.  Namanya demam panggung.”
Ya, aku tahu dari cerita Nurma, kalau Akmal seorang drummer.  Beberapa kali grup band sekolah yang dipimpinnya meraih juara.  Tapi aku tak pernah tahu hal-hal semacam itu.  Aku terlalu rapat menutup duniaku dari warna-warni di luarnya.
Nurma berdehem.
“Kalau Nala, dia demam panggung karena trauma masa kecil, Kak.”
Satu tendangan kecil di bawah meja cukup untuk menghentikan ucapan Nurma.
Akmal bersandar pada bangku, kedua tangannya berkacak pinggang.  Pandangannya lepas ke depan.
“Begini caraku melawan demam panggung.”  Dia melanjutkan, “Tapi kamu harus bisa menguasai pikiranmu lebih dulu.  Baru setelah itu kamu bisa menguasai duniamu.”
Lalu dia berdiri.  Badannya condong ke arah Nala.
“Cobalah, kapanpun kamu merasa siap, Nala.”
***
Baru-baru ini Akmal memberitahu aku dan Nurma sebuah rahasia.  Di meja kecil favorit kami, Akmal mengeluarkan satu lembar foto dari dalam dompetnya.
“Lucu.  Chubby.  Siapa ini?  Adik kamu?”  Aku sudah lebih santai saat berbicara dengan kakak kelasku ini.
Kuangsurkan foto di tanganku pada Nurma yang disambut dengan mata yang terbeliak.
“Ini kamu, Kak?”
Hah?  Kurebut foto itu dari tangan Nurma dan mengamatinya baik-baik.
Anak laki-laki bertubuh bulat ini, Akmal?
“Aku dulu juga pernah jadi bulan-bulanan teman-temanku.  Memang tidak menyenangkan sama sekali.”
Akmal mengambil kembali fotonya.  “Aku bahkan bisa memuntahkan isi perutku setiap kali orangtuaku memaksa untuk main keluar.”
Aku tahu yang dimaksud Akmal.  Aku juga pernah mengalami rasa mual yang luar biasa setiap kali dilanda ketakutan saat akan bertemu dengan orang-orang yang pernah melukai hatiku.
“Kata terapisku, aku mengalami phobia sosial.”
“Kakak sampai menemui terapis?” potongku.
“Iya, karena waktu itu menjelang ujian kelulusan SD.  Dan traumaku itu sangat mengganggu belajarku.”
Oh, kali ini berbeda denganku.  Justru dengan menutup semua celah yang mengharuskan aku untuk bersosialisasi, aku bisa lebih berkonsentrasi dengan pelajaranku.
“Kamu hanya perlu menerima keadaanmu.  Setelah itu, anggap apa pun yang dikatakan orang lain mengenai dirimu tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagimu.”
Kilasan peristiwa berkelebat dalam ruang kenanganku.  Hampir semuanya menyakitkan.  Reflek aku menyusut ujung mataku dengan sapu tangan.
“Jadikan hatimu layaknya bantal.  Serap semua kebaikan di sekitarmu dan tolak hal-hal buruk yang mendatangimu dengan kekuatan lontaranmu.”
Aku masih diam sepeninggal Akmal.  Aku belum pernah sampai harus menemui terapis.  Tapi di hari-hari belakangan ini, hadirnya Nurma dan Akmal menjadi terapi istimewa buatku.
***
Ini hari yang spesial.  Bergandengan dengan Nurma, aku memasuki GOR Pemuda.  Pandanganku lepas pada sekitarku.  Rupa-rupa anak manusia memenuhi tempat ini.  dan tidak satu pun menatapku dengan pandangan mencemooh.  Mereka yang berpapasan denganku hanya menatapku sambil lalu.  Kesadaranku telah pulih.
“Ayo, Nala!  Setelah ini giliran Akmal tampil!”
Setengah berlari Nurma menarikku menembus kerumunan dan baru berhenti setelah kami mencapai bibir panggung.  Tepat saat gebukan drum Akmal membuka lagu.
Aku lihat Nurma melambaikan kedua tangannya, berusaha menarik perhatian Akmal.  Suaranya yang meneriakkan nama Akmal tumpang tindih dengan lantang suara penonton yang ikut bernyanyi bersama.
Melihat semangat Nurma, aku pun mengikutinya.  Penuh semangat aku melambaikan tangan, bahkan sambil melompat. 
Dan berhasil!  Akmal melihat ke arah kami.  Aku menangkap kesan terkejut dari Akmal yang diikuti dengan senyum yang merekah lebar.
Perlahan kubusungkan dada dan meletakkan kedua kepalan tanganku di pinggang.
Aku lihat Akmal semakin bertenaga menggebuk drumnya.  Nurma pun spontan bertepuk tangan dan bernyanyi lebih kencang lagi.  Keduanya seolah mengiringi kelahiranku kembali.
Lihat sahabat, aku bisa!
Lihat dunia!  Ini aku, Nala!
*****

Monday, November 28, 2016

Gerhana Dua Pekan (dimuat di Taman Fiksi edisi Juli 2016)



~Selengkapnya ada dalam Kumpulan Cerpen "Perempuan Kala Jeda" ~ proses terbit.

#tamanfiksi #mediaonline #cerpenonline

Friday, November 04, 2016

Burung-Burung Pangeran Alfatt (dimuat di Majalah Tahunan Adzkia - SD Muhammadiyah Sagan Yogyakarta tahun 2016)






Pagi itu terlihat kesibukan yang tidak biasa di Istana Aljann.  Para pelayan dan pengawal hilir mudik di setiap ruang dan sudut kastil sampai ke seluruh penjuru halaman.  Beberapa memeriksa di balik pepohonan sementara yang lain mengitari taman bunga milik Ratu.
Sesekali mereka saling menghampiri, saling beradu seperti barisan semut ketika saling berpapasan.  Pertanyaan mereka sama.  “Pangeran Alfatt sudah ditemukan?”
Pencarian itu berawal sejak Pangeran tidak muncul di ruang makan saat sarapan.
Bunda Ratu mengira pangeran sakit. 
Namun Bibi Umma, pengasuh Pangeran, menggeleng.  “Tidak Ratu, Pangeran sehat.  Beberapa hari ini makan malamnya banyak, selalu meminta tambahan roti gandum.”
Qalea, putri Bibi Umma yang membantu di istana berlari menghampiri ibunya dan Ratu.
“Ibu! Bunda Ratu! Pangeran tidak ada di kamarnya dan tempat tidurnya sudah rapi.”
Bergegas mereka menuju kamar Pangeran.  Benar saja, jendelanya terbuka lebar ketika Ratu menyibakkan tirainya.
Wajah Qalea pucat seketika.
“Astaga!  Ada yang menculik Pangeran!”
Ibunda Ratu melongok keluar jendela dan melihat ke bawah.
“Tenang Qalea, Pengeran tidak diculik.  Ada jejak sepatu Pangeran di bawah jendela.”
“Dan penculik tidak akan sempat merapikan tempat tidur kan?” Ratu menunjuk tempat tidur putranya, lalu tersenyum untuk menenangkan gadis kecil itu.
“Tapi harus segera dicari.  Siapa tahu Pangeran jatuh dan terluka.”

***
Lalu, dimana sebenarnya Pangeran berada pagi itu?
Ada satu tempat yang terlewat oleh para pencari.  Mereka melupakan menara pemantau arus Sungai Nahr yang ada di belakang istana. 
Duduk bersandar pada dinding menara membuat Pangeran tidak terlihat dari bawah.  Disekelilingnya banyak burung merpati yang sibuk mematuk remah roti gandum yang disebar olehnya.  Sebagian lainnya tampak sabar menunggu dengan berjajar rapi, bertengger pada bibir pagar menara.
Pangeran sudah lama berniat ingin mengumpulkan remah roti untuk diberikan pada kawanan burung.  Dia berpikir, kasihan sekali burung-burung itu terbang kesana kemari mencari makan tapi tidak ada satupun yang berbaik hati memberi mereka makan.
Tak lama Pangeran Alfatt yang baik hati itu berhasil ditemukan setelah Bunda Ratu curiga dengan menara yang pagi itu tampak dipenuhi oleh kawanan burung.
Semua orang lega karena Pangeran sudah ditemukan. Mereka terharu bercampur geli dengan ulah Pangeran yang ingin memberi makan burung. Bunda Ratu juga senang karena Pangeran berhati penyayang. Namun Bunda Ratu berkata, lain kali Pangeran harus jujur dan jangan sembunyi-sembunyi lagi.

*****