Intuisi adalah bisikan
hati. Seharusnya aku dengarkan saat
bangun pagi tadi, saat tiba-tiba saja seragam olahraga yang sudah kusiapkan
dari semalam menebarkan aura horor.
Aku tidak bisa berkelit. Begitupun tiga temanku yang lain. Mereka harus berada satu regu denganku, yang
hanya akan membuat mereka harus bekerja lebih keras supaya nilai kelompok kami
tidak buruk. Oh, semoga mereka tidak
kesal.
Takut-takut kuhampiri
teman-teman satu regu yang sudah mulai berdiri berkelompok. Meski mereka tersenyum namun gemetar di kedua
kakiku tidak juga reda. Begitupun geliat
di dasar perutku.
“Kamu pelari pertama,
ya. Lari saja sekuat yang kamu bisa,
Nala.”
Tidak kuperhatikan
siapa yang berbicara karena aku sibuk mengangguk kuat-kuat. Seolah-olah setiap hentakan kepala bisa
mengatur irama jantungku yang berdentam tanpa harmoni.
Ketika semuanya berakhir,
aku mendapati diriku terhempas di rerumputan di tepi lapangan. Tidak buruk, reguku berada di urutan ketiga
dari enam regu. Perlahan aku bisa
merasakan otot-otot di seluruh tubuhku melemas dan telapak tanganku kembali memerah
jambu.
***
“Katanya Mamanya Danis
juga koleksi anggrek. Aduh….” Mata Nurma
memejam gemas sebelum kembali terbuka lebar ke arahku. “Kamu datang, kan, Nala?”
Tentu saja tidak. Itu jawaban jujur yang spontan keluar dari hati.
Tapi untuk Nurma, yang
keluar adalah jawaban : belum tahu.
Aku pura-pura
mencurahkan perhatian pada buku yang terbuka di depanku. Seketika logaritma menjadi tidak seberapa
menakutkan ketimbang sebuah undangan ulang tahun.
Jawaban pendekku
rupanya tidak begitu berarti bagi Nurma.
Selintas kerling saja aku sudah tahu apa yang sedang dia kerjakan dengan
pensil di tangannya. Melukis anggrek. Andai Nurma sedikit memaksa supaya aku hadir,
meski hanya basa-basi, mungkin hatiku akan tergerak.
***
Berat rasanya
melangkahkan kaki menuju kantin. Tapi Mama
bilang aku harus berusaha.
Sudah pasti akan ramai. Membayangkannya saja sudah membuat dahiku
basah.
Pundakku luruh di
dinding sisi luar kantin. Berada di
tepian sudah menjadi kebiasaanku karena selalu ada tempat untuk bersandar saat
kedua lututku goyah. Tak apa meski aku
akan terlihat seperti tanaman merambat di sini.
“Hei, kamu kenapa?”
Sial. Aku bertahan untuk terus menunduk. Namun pemilik suara itu justru membungkuk
untuk melihat wajahku lebih jelas.
“Kamu pucat. Masih bisa jalan? Aku antar ke UKS, ya?”
Aku merasakan kotak
bekal yang jatuh menimpa kakiku karena kedua tanganku spontan bergerak menutupi
wajahku setelah sempat mata kami bertemu.
Aku tidak mengenalnya. Belum
pernah bertemu dengannya.
“Buruan ke UKS deh,
kalau pingsan di sini bakalan repot ngangkutnya…”
Seloroh anak-anak lain
yang berdiri di belakang murid asing itu membuat badanku meluncur ke bawah,
berhenti pada posisi berlutut. Aku
paham. Aku hapal betul reaksi mencemooh semacam
itu.
“Tolong…,
pergi…pergi… Biar aku di sini saja.”
Sepertinya cowok tadi
kakak kelas. Tangannya bergerak
mengambil kotak bekal yang terjatuh tadi dan meletakkannya di pangkuanku. Pandanganku masih kuarahkan pada bebatuan
bulat di bawah kakiku.
Dengan mata kuikuti ketiga
pasang kaki yang bergerak menjauh.
Setelah akhirnya sanggup mengangkat kepalaku, aku masih bisa menangkap
punggung cowok tadi. Cowok yang, hmm…
ramah.
Aku kembali bisa menguasai
kedua kakiku tepat saat bel menjerit.
Misiku untuk menguasai kantin lagi-lagi gagal.
***
Tidak ada yang mau
bermain bersamaku. Kata mereka aku
terlalu berat untuk didorong saat kami bergantian bermain ayunan. Aku yang belum bisa naik sepeda selalu mereka
tinggal karena tidak ada yang mau membawaku di boncengannya.
“Nala payah, sih! Nggak
usah ikut lompat tali, ya. Nonton saja
di pinggir!”
Vonis mereka
jatuhkan. Setelah berulangkali aku
terjungkal saat harus berjongkok memegang tali, dan selalu tersungkur karena
terjerat tali karet yang terbentang tak seberapa tinggi.
***
“Nala! Ada Nurma!”
Panggilan Mama terdengar dari kaki tangga.
“Kamu tidak pergi ke
ulangtahun Danis? Masih belum enakan
badanmu?” tanya Mama saat aku melintas
menuju ruang tamu. Pasti Nurma yang
memberi tahu Mama.
Punggung tangan Mama
singgah di dahiku. Tentu saja
normal. Seharian ini aku tidak bertemu
dengan siapa-siapa. Demam tadi pagi
karena reaksiku terhadap peristiwa kemarin saja.
“Ternyata rumah Danis
dekat dengan rumahmu, ya. Jadi sekalian
saja aku tengok. Kata Bu Guru kamu sakit...”
Nurma yang selalu
tersenyum dan tertawa-tawa membuat hatiku menghangat. Kepala teman satu bangkuku itu bergerak ke
kanan dan ke kiri dengan sorot mata yang sepertinya ingin menggodaku.
“Kalau sudah sehat,
datang yuk, ke ultah Danis.”
Tiba-tiba aku merasa
ciut. Datang ke pesta? Bagaimana kalau mata-mata mereka
mencemooh? Bagaimana kalau aku terlihat aneh
dengan baju pestaku?
“Temani aku
melihat-lihat kebun bunga di rumah Danis.
Mau, kan?”
Otakku masih
berproses. Berusaha untuk sepakat dengan
kata hati.
Mataku terpejam. Biasanya dengan begitu akan lebih mudah
menangkap kemana hatiku bergerak.
“Berangkat saja,
Nala. Kamu bisa bawa satu tas rajut yang
baru selesai Mama bikin itu sebagai kado.”
Nurma pun memekik senang
saat kemudian aku beringsut untuk bertukar pakaian.
***
Mama tentunya sudah
berbagi cerita pada Nurma saat aku bersiap-siap tadi, karena selama di rumah
Danis dia berusaha untuk selalu bercakap denganku. Jadi aku tidak sempat memperhatikan
sekelilingku dan berhalusinasi seolah-olah semua orang sedang mengamati dan
menilai…penampilanku.
Selama sepuluh menit
berada di kebun belakang rumah Danis yang menjadi arena pesta, aku sedikit bisa
menikmati musik yang mengalun. Belum ada
dahi yang basah dan keringat yang menetes dari puncak hidungku. Aku membayangkan sedang berada di dalam
kamarku sendiri, bersantai dengan iringan lagu dari radio. Happy
place…, happy thought…. Begitu self therapy yang Mama ajarkan
padaku.
Sekalinya aku
memberanikan diri untuk mengedarkan pandanganku, mataku terpaku pada sosok yang
juga sedang melihat ke arahku. Sedetik,
dua detik, kemudian orang itu melambaikan tangan. Aku membuang muka dengan gugup lalu mencoba berkonsentrasi
pada cerita Nurma tentang aneka rupa anggrek berwarna ungu.
Tapi rupanya Nurma
seorang penjaga yang baik, pengawasannya cukup lekat. Matanya menangkap sekilas lambaian tangan
tadi. Mata kocak itupun membulat.
“Kamu kenal Akmal? Eh, Kak Akmal?”
“Engg…, siapa?”
Nurma mengarahkan
telunjuknya ke belakang punggungku.
“Yang melambai ke arah
kamu tadi.”
“Nggak…, aku nggak
kenal.” Kepalaku menggeleng kuat-kuat.
Jadi namanya
Akmal. Sepertinya dia baik. Tapi teman-temannya kemarin…, aku menggigil
selagi mengingat kejadian siang itu.
Kugamit tangan Nurma,
mengajaknya menjauh.
“Ayo, kita cari anggrek
yang kamu maksud tadi.”
***
Hari ini sudah ketiga
kalinya aku makan siang di kantin. Nurma
yang berkeras mengajakku. Dia berjanji
akan menemani dan membantuku mengatasi situasi.
Aku hanya minta supaya kami duduk di meja di sisi terluar, sedapat
mungkin menjauh dari keramaian.
Meja yang kami pilih
adalah satu dari tiga meja yang ukurannya paling kecil dengan dua kursi sebagai
pasangannya. Sejauh ini aku bisa
bersahabat dengan suasana.
Tiba-tiba terdengar
kursi yang ditarik dan sebuah sapaan, “Kamu teman sekelas Danis ya?”
Sontak aku memejamkan
mata, menahan perih di pangkal hidungku karena tersedak kuah pedas dari bakso
yang aku tengah aku santap.
Namun Nurma membacanya
sebagai serangan panik. Buru-buru dia
mengajak Akmal ngobrol supaya aku punya waktu untuk bermeditasi kilat.
“Kakak kemarin datang
juga, ya, di ultahnya Danis. Tapi
kelihatannya anak-anak kelas XII nggak ada ya, selain Kakak?”
Aku bisa merasakan
perhatian Akmal beralih pada Nurma.
“Memang nggak ada anak
kelas atas yang diundang, kok. Aku kan
masih keluarga Danis. Aku sepupunya.”
‘Oh’ panjang keluar
dari mulut Nurma. Lalu kulihat dia
menatap kaget ke arahku. Rupanya aku
juga bereaksi yang sama. Mulutku menggumamkan
‘Oh’ meski terdengar samar.
Debaran di dadaku tidak
sehebat biasanya bila berhadapan dengan orang asing. Mungkin keberadaan Nurma yang menjadi
penyebabnya. Di seberang meja dia
mengulas senyum menenangkan.
Tanpa aku sadari Akmal
memperhatikan telapak tanganku yang membuka dan menutup berulang kali.
“Kamu masih belum
sehat? Tanganmu seperti waktu itu. Pucat dan basah,” katanya.
Buru-buru kuraih sapu
tangan di samping gelas. Aku selalu
membawanya untuk kugenggam bila basah di telapak tangannku tak tertahankan.
“Nala begitu kalau
sedang gugup,” sergah Nurma. Lagi-lagi
dia membantuku bersuara. Tapi tatapan
matanya seolah memintaku untuk mencoba berkata-kata.
“I…iya, Kak. Aku nggak papa, kok. Terimakasih.”
Tak disangka Nurma
bertepuk tangan. Sepertinya dia terlalu
gembira melihat usaha kerasku. Kelakuan
sahabat baruku itu justru membuatku jengah.
Kepalaku kembali tertunduk.
“Oh, aku juga kadang
begitu kalau sedang tampil. Namanya
demam panggung.”
Ya, aku tahu dari
cerita Nurma, kalau Akmal seorang drummer. Beberapa kali grup band sekolah yang
dipimpinnya meraih juara. Tapi aku tak
pernah tahu hal-hal semacam itu. Aku
terlalu rapat menutup duniaku dari warna-warni di luarnya.
Nurma berdehem.
“Kalau Nala, dia demam
panggung karena trauma masa kecil, Kak.”
Satu tendangan kecil di
bawah meja cukup untuk menghentikan ucapan Nurma.
Akmal bersandar pada
bangku, kedua tangannya berkacak pinggang.
Pandangannya lepas ke depan.
“Begini caraku melawan
demam panggung.” Dia melanjutkan, “Tapi
kamu harus bisa menguasai pikiranmu lebih dulu.
Baru setelah itu kamu bisa menguasai duniamu.”
Lalu dia berdiri. Badannya condong ke arah Nala.
“Cobalah, kapanpun kamu
merasa siap, Nala.”
***
Baru-baru ini Akmal
memberitahu aku dan Nurma sebuah rahasia.
Di meja kecil favorit kami, Akmal mengeluarkan satu lembar foto dari
dalam dompetnya.
“Lucu. Chubby.
Siapa ini? Adik kamu?” Aku sudah lebih santai saat berbicara dengan
kakak kelasku ini.
Kuangsurkan foto di
tanganku pada Nurma yang disambut dengan mata yang terbeliak.
“Ini kamu, Kak?”
Hah? Kurebut foto itu dari tangan Nurma dan
mengamatinya baik-baik.
Anak laki-laki bertubuh
bulat ini, Akmal?
“Aku dulu juga pernah
jadi bulan-bulanan teman-temanku. Memang
tidak menyenangkan sama sekali.”
Akmal mengambil kembali
fotonya. “Aku bahkan bisa memuntahkan
isi perutku setiap kali orangtuaku memaksa untuk main keluar.”
Aku tahu yang dimaksud
Akmal. Aku juga pernah mengalami rasa
mual yang luar biasa setiap kali dilanda ketakutan saat akan bertemu dengan
orang-orang yang pernah melukai hatiku.
“Kata terapisku, aku
mengalami phobia sosial.”
“Kakak sampai menemui
terapis?” potongku.
“Iya, karena waktu itu
menjelang ujian kelulusan SD. Dan
traumaku itu sangat mengganggu belajarku.”
Oh, kali ini berbeda
denganku. Justru dengan menutup semua
celah yang mengharuskan aku untuk bersosialisasi, aku bisa lebih berkonsentrasi
dengan pelajaranku.
“Kamu hanya perlu
menerima keadaanmu. Setelah itu, anggap
apa pun yang dikatakan orang lain mengenai dirimu tidak akan membawa pengaruh apa-apa
bagimu.”
Kilasan peristiwa
berkelebat dalam ruang kenanganku.
Hampir semuanya menyakitkan.
Reflek aku menyusut ujung mataku dengan sapu tangan.
“Jadikan hatimu
layaknya bantal. Serap semua kebaikan di
sekitarmu dan tolak hal-hal buruk yang mendatangimu dengan kekuatan
lontaranmu.”
Aku masih diam
sepeninggal Akmal. Aku belum pernah
sampai harus menemui terapis. Tapi di
hari-hari belakangan ini, hadirnya Nurma dan Akmal menjadi terapi istimewa
buatku.
***
Ini hari yang spesial. Bergandengan dengan Nurma, aku memasuki GOR
Pemuda. Pandanganku lepas pada
sekitarku. Rupa-rupa anak manusia
memenuhi tempat ini. dan tidak satu pun
menatapku dengan pandangan mencemooh.
Mereka yang berpapasan denganku hanya menatapku sambil lalu. Kesadaranku telah pulih.
“Ayo, Nala! Setelah ini giliran Akmal tampil!”
Setengah berlari Nurma
menarikku menembus kerumunan dan baru berhenti setelah kami mencapai bibir
panggung. Tepat saat gebukan drum Akmal
membuka lagu.
Aku lihat Nurma
melambaikan kedua tangannya, berusaha menarik perhatian Akmal. Suaranya yang meneriakkan nama Akmal tumpang
tindih dengan lantang suara penonton yang ikut bernyanyi bersama.
Melihat semangat Nurma,
aku pun mengikutinya. Penuh semangat aku
melambaikan tangan, bahkan sambil melompat.
Dan berhasil! Akmal melihat ke arah kami. Aku menangkap kesan terkejut dari Akmal yang
diikuti dengan senyum yang merekah lebar.
Perlahan kubusungkan
dada dan meletakkan kedua kepalan tanganku di pinggang.
Aku lihat Akmal semakin
bertenaga menggebuk drumnya. Nurma pun spontan
bertepuk tangan dan bernyanyi lebih kencang lagi. Keduanya seolah mengiringi kelahiranku
kembali.
Lihat sahabat, aku
bisa!
Lihat dunia! Ini aku, Nala!
*****