Wednesday, May 09, 2012

Aku dan Sepatuku

“Pak, sepatunya Oky udah kemasukan air….”  Aku melapor pada Bapak selepas sholat Maghrib.
Kata Ibu, harus cari waktu yang tepat untuk matur ke Bapak.  Kalau pulang kantor Bapak masih capek badan dan pikiran.  Kalau bangun tidur, Bapak belum sepenuhnya sadar, nanti omonganmu nggak diperhatikan.  Setelah sholat waktu yang paling baik, karena sholat membuat pikiran dan hati kita tenang.
Tapi agaknya sedikit terlambat.  Bapak terlanjur asik menyimak berita di tv.
“Kalau jalan jangan pilih yang ada genangannya.”
Mendengar jawaban Bapak, justru airmataku yang tergenang.
“Sekarang kan hampir setiap hari hujan Pak, biarpun nggak tergenang tetap aja jalannya basah.  Kaos kaki jadi ikut basah.  Sampai rumah telapak kaki sudah keriput…, udah gitu bau….”  Kesalku kubawa masuk ke dalam kamar, meninggalkan Bapak yang diam.  Entah sedang berpikir atau kembali menikmati siaran berita kegemarannya.

“Haa…sepatu Oky jadi hangat,”  aku menghentak-hentakkan kaki ke lantai, menikmati kehangatan yang merambat hingga berasa seperti dipijat.
“Semalam ibu taruh dibelakang kompor, jadi lumayan kering kan?”
Tidak hanya kering Ibu, sepatuku bahkan menjadi kaku seperti baru, dan mencengkeram erat kakiku.  Terimakasih, ucapku.
Tapi jalanan masih basah sisa hujan semalam.  Belum sampai ujung jalan saja kaos kakiku sudah terasa dingin.  Buru-buru kulepas sepatuku kemudian kaos kakiku.  Aku simpan kaos kakiku didalam tas lalu kupakai kembali sepatuku.  Agak longgar, tak apalah, yang penting tidak terlalu bau.

“Okkk…!! Bawa kesini sepatumu…!!”  Bapak memanggilku dari teras.  Hari Minggu pagi Bapak biasa duduk-duduk disitu sembari ngeteh.
Buru-buru aku datang sembari menenteng sepatu.  Mumpung Bapak sedang perhatian, siapa tahu kalau Bapak lihat solnya sudah terbelah nanti sore aku akan diajaknya ke toko sepatu.
Sampai diteras, aku terlongong.  Di halaman sudah ada tukang sol sepatu yang sudah siap duduk dengan gunting dan lembaran sol karet ditangannya.
“Sinikan sepatunya.  Bapak sudah lihat tadi malam, bahan luarnya masih bagus.  Cuma solnya aja yang sudah belah sampai mau putus begini,” Bapak meraih sepatu dari tanganku lalu menekuk-nekuknya sampai nyaris terlipat sempurna.
“Untung anakku ini rajin nyuci sepatunya Pak, jadi masih terawat begini.  Tapi kebiasaan jalannya memang suka diseret, jadi sol sepatunya cepat tipis.  Belum lagi kalau duduk suka berjinjit, jadi solnya gampang patah.  Kasih yang paling tebel aja, biar awet,” ujar Bapak, kali ini pada si tukang sepatu.
Ada yang berdentum-dentum didada ini, memaksa mataku untuk membasah.  Tadi malam Bapak memeriksa sepatuku?  Berarti Bapak memperhatikan aduanku tempo hari, aku terharu senang.  Tapi bayangan model-model sepatu terbaru yang sedang digemari teman-teman sekolahku pun langsung pudar dari otakku, aku terharu kecewa. 
Paling tidak, Senin pagi aku berangkat ke sekolah dengan sol baru, kaos kaki kering, dan bertambah tinggiku 1.5 cm.
***