“Pak, sepatunya Oky udah
kemasukan air….” Aku melapor pada Bapak
selepas sholat Maghrib.
Kata Ibu, harus cari waktu
yang tepat untuk matur ke Bapak. Kalau
pulang kantor Bapak masih capek badan dan pikiran. Kalau bangun tidur, Bapak belum sepenuhnya
sadar, nanti omonganmu nggak diperhatikan.
Setelah sholat waktu yang paling baik, karena sholat membuat pikiran dan
hati kita tenang.
Tapi agaknya sedikit
terlambat. Bapak terlanjur asik menyimak
berita di tv.
“Kalau jalan jangan pilih
yang ada genangannya.”
Mendengar jawaban Bapak,
justru airmataku yang tergenang.
“Sekarang kan hampir setiap
hari hujan Pak, biarpun nggak tergenang tetap aja jalannya basah. Kaos kaki jadi ikut basah. Sampai rumah telapak kaki sudah keriput…,
udah gitu bau….” Kesalku kubawa masuk ke
dalam kamar, meninggalkan Bapak yang diam.
Entah sedang berpikir atau kembali menikmati siaran berita kegemarannya.
“Haa…sepatu Oky jadi
hangat,” aku menghentak-hentakkan kaki
ke lantai, menikmati kehangatan yang merambat hingga berasa seperti dipijat.
“Semalam ibu taruh
dibelakang kompor, jadi lumayan kering kan?”
Tidak hanya kering Ibu,
sepatuku bahkan menjadi kaku seperti baru, dan mencengkeram erat kakiku. Terimakasih, ucapku.
Tapi jalanan masih basah
sisa hujan semalam. Belum sampai ujung
jalan saja kaos kakiku sudah terasa dingin.
Buru-buru kulepas sepatuku kemudian kaos kakiku. Aku simpan kaos kakiku didalam tas lalu
kupakai kembali sepatuku. Agak longgar,
tak apalah, yang penting tidak terlalu bau.
“Okkk…!! Bawa kesini
sepatumu…!!” Bapak memanggilku dari
teras. Hari Minggu pagi Bapak biasa
duduk-duduk disitu sembari ngeteh.
Buru-buru aku datang
sembari menenteng sepatu. Mumpung Bapak
sedang perhatian, siapa tahu kalau Bapak lihat solnya sudah terbelah nanti sore
aku akan diajaknya ke toko sepatu.
Sampai diteras, aku
terlongong. Di halaman sudah ada tukang
sol sepatu yang sudah siap duduk dengan gunting dan lembaran sol karet
ditangannya.
“Sinikan sepatunya. Bapak sudah lihat tadi malam, bahan luarnya
masih bagus. Cuma solnya aja yang sudah
belah sampai mau putus begini,” Bapak meraih sepatu dari tanganku lalu
menekuk-nekuknya sampai nyaris terlipat sempurna.
“Untung anakku ini rajin
nyuci sepatunya Pak, jadi masih terawat begini.
Tapi kebiasaan jalannya memang suka diseret, jadi sol sepatunya cepat
tipis. Belum lagi kalau duduk suka
berjinjit, jadi solnya gampang patah.
Kasih yang paling tebel aja, biar awet,” ujar Bapak, kali ini pada si
tukang sepatu.
Ada yang berdentum-dentum
didada ini, memaksa mataku untuk membasah.
Tadi malam Bapak memeriksa sepatuku?
Berarti Bapak memperhatikan aduanku tempo hari, aku terharu senang. Tapi bayangan model-model sepatu terbaru yang
sedang digemari teman-teman sekolahku pun langsung pudar dari otakku, aku
terharu kecewa.
Paling tidak, Senin pagi
aku berangkat ke sekolah dengan sol baru, kaos kaki kering, dan bertambah
tinggiku 1.5 cm.
***
3 comments:
jemur sepatu di belakang kompor? hmm....jadi ingat jaman kita masih kecil ya, Mbak? kalo saya dulu bukan di belakanng ompor, tapi di belakang kukas. Kulka sjaman dulu kan belakangnya masih ada 'plangkrangan'nya, jadi bisa dipake buat jemur sepatu :)
jadi ingat almarhum bapakku, nih T_T
iya mbak Maya,
Almarhum bapak juga ngangenin, kesannya pelit padahal hanya dia yang tahu maksudnya apa,
yuk, kita kangenin bapak kita sama-sama... T_T
2012 udah eksis. Jos
Post a Comment