Upacara
pagi itu sudah tiba di penghujung akhir. Namun barisan kelas sudah tak jelas
lagi bentuknya. Sebagian murid merapat ke depan. Sebagian lagi yang tak peduli
memilih berebut bayangan pohon untuk menyelamatkan badan dari sinar hangat
matahari pagi yang mulai menyengat.
Hasil
lomba class meeting sedang diumumkan.
Sorak dan tepuk terdengar bergantian di tiap barisan kelas. Kelas 3 IPA 3
bersaing ketat dengan 3 IPA 1. Perolehan medali mereka jauh di atas kelas-kelas
lainnya dengan jumlah yang sama persis. Namun belum klimaks kalau belum
terputuskan siapa Juara Umum tahun ini. Masing-masing hanya perlu unggul satu
medali saja untuk memenangkannya.
Ketika Pak
Dedi mengumumkan Lomba Menulis Cerpen sebagai cabang lomba terakhir, kedua kubu
mendesah massal, karena kedua kelas yakin tidak mengikuti cabang lomba yang
tidak populer itu.
Mereka
berspekulasi kemungkinan akan ada re-match.
Atau mungkin Juara Umum Ganda. Namun dengungan mereka terhenti saat 3 IPA 3
disebut sebagai Juara 1. Selama lima detik keheningan menyelimuti lapangan. Didetik
ke-6 sorak sorai meledak, lebih gegap dari sebelumnya.
Perlu tiga
kali ketukan keras pada mic untuk
menenangkan kemeriahan dari barisan kelas yang mendadak menjadi Juara Umum itu.
“Mana ini
Juara 1-nya, 3 IPA 3?” Pak Dedi melempar pandangannya pada barisan 3 IPA 3.
Untuk
beberapa saat kepala-kepala dalam barisan paling ujung itu saling tatap dan
bertanya-tanya. Tak ada satu pun yang tahu siapa yang mengikuti lomba cerpen
dari kelas mereka. Sampai Pak Dedi harus memanggil nama sang pemenang.
“Shaumia
Kamila!”
Barisan 3
IPA 3 kembali riuh. Beramai-ramai mereka mendorong seseorang yang tampaknya
segan untuk tampil ke depan. Sampai-sampai Ardi si ketua kelas harus
menghampiri dan membujuk gadis pemalu itu.
***
“Selamat,
ya, Mia!”
“Untung
kamu ikut lomba, Mi. Juara Umum, deh, kita…”
“Ternyata
kelas kita punya cerpenis hebat. Keren!”
Bangku Mia
di sudut belakang tiba-tiba penuh oleh anak-anak yang tadinya menoleh pun tidak
pada Mia. Mungkin kuncir ekor kuda atau kacamata minus tebal dengan frame yang
tak modis sama sekali yang jadi penyebabnya.
Diaz
memperhatikan Mia dari tempatnya berdiri bersandar di tepi pintu kelas. Gadis
pendiam itu tengah canggung menjawab satu per satu ucapan dan pertanyaan dari
teman-temannya. Paling hanya satu minggu kehebohan ini berlangsung, setelah itu
Mia akan kembali terlupakan, pikir Diaz.
“Woi! Pada
balik ke meja masing-masing, dong!”
Diaz
mengibaskan tangan pada satu anak yang duduk di atas mejanya, yang tepat
bersebelahan dengan meja Mia. Seiring satu per satu anak-anak itu bubar, Diaz
perlahan dapat melihat raut Mia yang menyiratkan ucapan terimakasih dalam
senyum yang terulas tipis.
Selama
sepersekian detik Diaz terpaku. Rupanya selama ini dia melewatkan wajah yang
setenang permukaan kolam ikan di halaman belakang sekolah.
“Seharusnya
aku sudah menduga kalau kamu suka menulis.”
Mia hanya
selintas mengerling. Sepertinya dia kurang percaya dengan pendengarannya. Salah
Diaz juga yang hampir tidak pernah mengajak Mia berbicara.
“Aku
sering melihat kamu sembunyi-sembunyi mencatat sesuatu di buku kecil yang kamu
simpan di lacimu.”
Kali ini
Mia benar-benar menoleh. Lagi-lagi senyumnya tipis saja.
“Iya, aku
harus segera menulis yang terlintas di kepala sebelum lupa. Ingatanku nggak
bagus.”
Dua
kalimat dari Mia, meskipun lirih, mampu membuat Diaz tertegun. Memorinya
terusik. Tiba-tiba Diaz merasa Mia tidak terlalu asing baginya.
***
“Aku juga
pernah lihat kamu sembunyikan novel di balik buku pelajaran.”
Mia nyaris
terlonjak dari bangku di sudut paling sepi di dalam perpustakaan. Diaz
tahu-tahu saja sudah berdiri di belakangnya.
“Padahal
tiap jam istirahat kamu selalu ke perpus. Rupanya waktu membacamu masih kurang,
ya?” Diaz mengambil duduk di seberang meja, berhadapan dengan Mia.
Mata Mia
menyipit di balik kacamatanya saat dia menyengir. Hidung mungilnya jadi
terlihat lucu. Mia geli sekaligus heran. Diaz yang terlihat acuh ternyata
perhatian juga padanya. Dia harus senang atau justru berhati-hati?
“Hmmm…,
mungkin karena aku tidak punya kegiatan lain saat jam istirahat. Jadi apa
salahnya membaca?”
Mia
melirik jam tangannya. Dia ingin meneruskan bacaannya yang tersela oleh Diaz
tadi, tapi bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Terburu dia bangun untuk
mengembalikan buku di rak. Saat kembali ke meja untuk mengambil buku
catatannya, Mia tersentak. Diaz tengah membolak-balik buku catatannya.
Buru-buru dia merebut buku itu.
Diaz
tertegun. Meski tidak berucap apa pun, wajah Mia cukup menyiratkan perasaannya.
Diaz menyesal. Buku catatan Mia tadi bukan hanya coretan ide menulisnya, tapi
seperti buku harian. Diaz bisa meraba warna hati Mia meski dari sedikit yang
dia baca.
***
Diaz masih
belum berhasil mengajak bicara Mia sejak kejadian di perpus tempo hari. Sapaan
yang dia lontarkan hanya berbalas diam. Diaz sampai menghabiskan jam
istirahatnya di perpus, namun Mia mengambil tempat duduk di samping Bu Atin,
pegawai perpustakaan yang akan berdesis dengan keras jika ada keributan sedikit
saja.
Tiba-tiba Diaz
terkejutkan oleh sesuatu. Dia bangun lalu membesarkan volume radio pada meja
belajar di samping tempat tidurnya. Dia cermati lagi suara Shaka, penyiar radio
yang dia suka. Vokalnya yang bening kadang membius Diaz, sampai-sampai menjadi
lagu pengantar tidur baginya.
“Sobat
Mada FM, Shaka ingin putarkan lagu berikut ini untuk siapa saja yang tengah
mati gaya. Hanya bisa menatap cinta tanpa bisa mengatakan apa-apa. Dan hanya
resah yang bisa kalian isyaratkan pada sang cinta.”
Diaz tak
pedulikan alunan syahdu dan indah dari Payung Teduh yang membawakan Resah.
Perhatiannya terfokus pada ‘sang cinta’, rasanya dia ingat di mana pernah
membacanya.
***
Diaz
berdiri diam di ujung bangku Mia. Dia menunggu sampai Mia mengangkat wajah dan
berhenti pura-pura membaca apa pun di telepon genggamnya.
“Diaz, aku
sudah maafkan kamu. Sekarang duduklah di bangkumu sendiri.”
Mia
buru-buru kembali menunduk. Diaz sempat menangkap jengah di wajahnya. Dia pun
menurut, kembali duduk di bangkunya meski kemudian mencondongkan badannya pada
Mia.
“Jadi
siapa Sang Cinta itu, Shaka?”
Dari
napasnya yang tercekat, Diaz tahu kalau tembakannya barusan tepat mengenai
sasaran. Namun rasa puasnya berganti sesal, ketika wajah Mia berangsur memucat.
“Hei,
nggak perlu secemas itu. Rahasiamu aman bersamaku.” Diaz tersenyum untuk
menenangkan Mia. Tapi sepertinya tak berhasil. Bulir-bulir keringat dingin
mulai turun di dahi Mia.
“Kamu pasti
sempat membacanya di bukuku kemarin. Jadi kamu pasti tahu, kan, siapa
orangnya?” bisik Mia.
Diaz
terkejut. Untuk beberapa saat dia berusaha mengingat kembali. Tapi nihil. Dia
hanya ingat ‘sang cinta’ yang ditulis Mia berulang kali di buku itu.
“Aku nggak
berpikiran jauh. Kukira itu draft tulisan kamu. Cerita fiksi.”
Tetap saja
Mia gelisah. Bolpoin di tangannya mengetuk-ngetuk meja dalam irama macam kode
darurat morse.
Sebetulnya
tak hanya Mia yang menyimpan resah. Diaz pun belingsatan sendiri dengan geliat
yang tengah bermain-main di dadanya. Apalagi setelah dia tahu kalau Shaka,
penyiar favoritnya, yang menemani malam-malamnya, adalah Mia, teman satu kelas,
penghuni bangku sebelah.
Apakah dia
sedang jatuh cinta? Diaz mengakui telah jatuh cinta sejak lama pada Shaka,
meski hanya karena suaranya. Tapi apakah itu berarti dia kasmaran juga pada Mia?
Lagipula, siapa itu ‘sang cinta’? Sepertinya orang itu teramat istimewa bagi
Mia.
***
Sebetulnya
tidak ada yang aneh. Sebelumnya pun Diaz nyaris tidak pernah bercakap dengan
Mia. Tapi sekarang Diaz sangat terganggu dengan kesunyian di antara mereka. Setiap
perkataannya hanya berbalas anggukan ataupun gelengan.
“Mia, aku
tahu tempat yang asyik buat kamu konsentrasi menulis.”
Diaz duduk
menyamping, menghadapkan badan pada Mia dan berharap-harap cemas menunggu
reaksinya.
“Ehmm…, di
mana itu?”
Yes! Batin
Diaz bersorak.
Baru saja
mulutnya terbuka ketika tiba-tiba Ardi mendatangi mereka.
“Sorry
ganggu bentar,” tangannya terangkat ke arah Diaz sebagai isyarat menyela
percakapan. Entah kenapa Diaz tidak senang dengan interupsi itu.
“Mia, jam
istirahat ke-2 nanti kamu dipanggil Bu Tami. Kamu mau diikutkan lomba menulis
fiksi antar sekolah.”
“Ahh…, oh,
ya....” Hanya suara-suara tak jelas yang keluar dari mulut Mia.
Diaz
memperhatikan gelagat Mia yang tiba-tiba seperti ikan kehabisan oksigen.
“Mau aku
temani?” Ardi menawarkan diri karena Mia terlihat gugup.
“Biar aku
saja yang temani!” sela Diaz.
Mia sama
terkejutnya dengan Diaz. Entah kenapa Diaz tidak nyaman melihat Mia salah
tingkah dan tampak tersiksa.
“Oke kalau
begitu.” Ardi pun undur diri.
Mia dan Diaz
sama-sama memperhatikan punggung Ardi yang tengah berjalan menjauh. Namun Diaz
yang lebih dulu berpaling dan kembali menatap Mia.
“Dia, kan,
orangnya?”
Mia
menoleh. “Orang apa?”
“Sang
Cinta…”
Untuk
sesaat Diaz kesulitan mengartikan tatapan mata Mia. Bola mata Mia
bergerak-gerak seperti hendak menembus mata dan mencapai ke dalam kepalanya.
Sekarang giliran Diaz yang jadi kikuk.
“Kenapa
kamu sebegitu ingin tahu?”
Diaz
terpojok. Dia mengakui sifat cowok seusianya yang hanya perhatian kalau ada
maunya saja. Biasanya mereka hanya peduli segala hal tentang diri mereka
sendiri. Hobi, olahraga kesukaan, dan band idola misalnya. Lalu
keingintahuannya pada Mia apakah juga menyangkut dirinya sendiri? Pentingkah
untuk dia ketahui?
Melihat Diaz
terdiam, Mia merasa paham karena dia juga sering mengalaminya. Diam-diam dia
menyembunyikan senyumnya.
“Diaz,
kalau kamu mau tahu. Bukan dia orangnya. Lagian Sang Cinta itu hanya rekaan.”
Kalau saja
Mia mau menahan tatapannya sebentar saja. Dia akan menangkap sorot lega dan
kecewa yang bergantian di mata Diaz.
***
“Dear,
Sobat Mada FM… Pernah tidak kalian merasakan jatuh cinta yang luapnya tertahan
di tenggorokan? Rasa yang ada di dadamu membuncah, tapi tak sampai tumpah.
Pernahkah?”
“Ini untuk
kamu, yang…mungkin punya rasa yang sama dengan yang Sakha rasakan di sini.”
… Mataku terus tertuju padamu
Ingin ku sapa dirimu
Namun ku masih malu tuk hampiri dirimu
Diriku terdiam, aku menunggu, aku terpaku…
Lirik lagu
Maliq semalam terus berputar di kepala Diaz. Seakan menabuhi setiap langkahnya
hingga mencapai pintu kelas.
Ajaib.
Sesaat dia berhenti di ambang pintu, musik di kepala Diaz pun berhenti.
Bersamaan dengan kepala Mia yang terangkat, menoleh ke arah pintu kelas dan
menemukan Diaz berada di sana. Seketika mereka berdua tahu, tentang rasa yang
sedang genit menggoda mereka berdua.
*****
Website Gogirl! www.gogirlmagz.com pada Minggu, 26 Februari 2017.
No comments:
Post a Comment