Wednesday, October 25, 2017

Tentang Rasa (Go Girl! Weekend Web Story - 17 Sep 2017)




Upacara pagi itu sudah tiba di penghujung akhir. Namun barisan kelas sudah tak jelas lagi bentuknya. Sebagian murid merapat ke depan. Sebagian lagi yang tak peduli memilih berebut bayangan pohon untuk menyelamatkan badan dari sinar hangat matahari pagi yang mulai menyengat.
Hasil lomba class meeting sedang diumumkan. Sorak dan tepuk terdengar bergantian di tiap barisan kelas. Kelas 3 IPA 3 bersaing ketat dengan 3 IPA 1. Perolehan medali mereka jauh di atas kelas-kelas lainnya dengan jumlah yang sama persis. Namun belum klimaks kalau belum terputuskan siapa Juara Umum tahun ini. Masing-masing hanya perlu unggul satu medali saja untuk memenangkannya.
Ketika Pak Dedi mengumumkan Lomba Menulis Cerpen sebagai cabang lomba terakhir, kedua kubu mendesah massal, karena kedua kelas yakin tidak mengikuti cabang lomba yang tidak populer itu.
Mereka berspekulasi kemungkinan akan ada re-match. Atau mungkin Juara Umum Ganda. Namun dengungan mereka terhenti saat 3 IPA 3 disebut sebagai Juara 1. Selama lima detik keheningan menyelimuti lapangan. Didetik ke-6 sorak sorai meledak, lebih gegap dari sebelumnya.
Perlu tiga kali ketukan keras pada mic untuk menenangkan kemeriahan dari barisan kelas yang mendadak menjadi Juara Umum itu.
“Mana ini Juara 1-nya, 3 IPA 3?” Pak Dedi melempar pandangannya pada barisan 3 IPA 3.
Untuk beberapa saat kepala-kepala dalam barisan paling ujung itu saling tatap dan bertanya-tanya. Tak ada satu pun yang tahu siapa yang mengikuti lomba cerpen dari kelas mereka. Sampai Pak Dedi harus memanggil nama sang pemenang.
“Shaumia Kamila!”
Barisan 3 IPA 3 kembali riuh. Beramai-ramai mereka mendorong seseorang yang tampaknya segan untuk tampil ke depan. Sampai-sampai Ardi si ketua kelas harus menghampiri dan membujuk gadis pemalu itu.
***
“Selamat, ya, Mia!”
“Untung kamu ikut lomba, Mi. Juara Umum, deh, kita…”
“Ternyata kelas kita punya cerpenis hebat. Keren!”
Bangku Mia di sudut belakang tiba-tiba penuh oleh anak-anak yang tadinya menoleh pun tidak pada Mia. Mungkin kuncir ekor kuda atau kacamata minus tebal dengan frame yang tak modis sama sekali yang jadi penyebabnya.
Diaz memperhatikan Mia dari tempatnya berdiri bersandar di tepi pintu kelas. Gadis pendiam itu tengah canggung menjawab satu per satu ucapan dan pertanyaan dari teman-temannya. Paling hanya satu minggu kehebohan ini berlangsung, setelah itu Mia akan kembali terlupakan, pikir Diaz.
“Woi! Pada balik ke meja masing-masing, dong!”
Diaz mengibaskan tangan pada satu anak yang duduk di atas mejanya, yang tepat bersebelahan dengan meja Mia. Seiring satu per satu anak-anak itu bubar, Diaz perlahan dapat melihat raut Mia yang menyiratkan ucapan terimakasih dalam senyum yang terulas tipis.
Selama sepersekian detik Diaz terpaku. Rupanya selama ini dia melewatkan wajah yang setenang permukaan kolam ikan di halaman belakang sekolah.
“Seharusnya aku sudah menduga kalau kamu suka menulis.”
Mia hanya selintas mengerling. Sepertinya dia kurang percaya dengan pendengarannya. Salah Diaz juga yang hampir tidak pernah mengajak Mia berbicara.
“Aku sering melihat kamu sembunyi-sembunyi mencatat sesuatu di buku kecil yang kamu simpan di lacimu.”
Kali ini Mia benar-benar menoleh. Lagi-lagi senyumnya tipis saja.
“Iya, aku harus segera menulis yang terlintas di kepala sebelum lupa. Ingatanku nggak bagus.”
Dua kalimat dari Mia, meskipun lirih, mampu membuat Diaz tertegun. Memorinya terusik. Tiba-tiba Diaz merasa Mia tidak terlalu asing baginya.
***
“Aku juga pernah lihat kamu sembunyikan novel di balik buku pelajaran.”
Mia nyaris terlonjak dari bangku di sudut paling sepi di dalam perpustakaan. Diaz tahu-tahu saja sudah berdiri di belakangnya.
“Padahal tiap jam istirahat kamu selalu ke perpus. Rupanya waktu membacamu masih kurang, ya?” Diaz mengambil duduk di seberang meja, berhadapan dengan Mia.
Mata Mia menyipit di balik kacamatanya saat dia menyengir. Hidung mungilnya jadi terlihat lucu. Mia geli sekaligus heran. Diaz yang terlihat acuh ternyata perhatian juga padanya. Dia harus senang atau justru berhati-hati?
“Hmmm…, mungkin karena aku tidak punya kegiatan lain saat jam istirahat. Jadi apa salahnya membaca?”
Mia melirik jam tangannya. Dia ingin meneruskan bacaannya yang tersela oleh Diaz tadi, tapi bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Terburu dia bangun untuk mengembalikan buku di rak. Saat kembali ke meja untuk mengambil buku catatannya, Mia tersentak. Diaz tengah membolak-balik buku catatannya. Buru-buru dia merebut buku itu.
Diaz tertegun. Meski tidak berucap apa pun, wajah Mia cukup menyiratkan perasaannya. Diaz menyesal. Buku catatan Mia tadi bukan hanya coretan ide menulisnya, tapi seperti buku harian. Diaz bisa meraba warna hati Mia meski dari sedikit yang dia baca.
***
Diaz masih belum berhasil mengajak bicara Mia sejak kejadian di perpus tempo hari. Sapaan yang dia lontarkan hanya berbalas diam. Diaz sampai menghabiskan jam istirahatnya di perpus, namun Mia mengambil tempat duduk di samping Bu Atin, pegawai perpustakaan yang akan berdesis dengan keras jika ada keributan sedikit saja.
Tiba-tiba Diaz terkejutkan oleh sesuatu. Dia bangun lalu membesarkan volume radio pada meja belajar di samping tempat tidurnya. Dia cermati lagi suara Shaka, penyiar radio yang dia suka. Vokalnya yang bening kadang membius Diaz, sampai-sampai menjadi lagu pengantar tidur baginya.
“Sobat Mada FM, Shaka ingin putarkan lagu berikut ini untuk siapa saja yang tengah mati gaya. Hanya bisa menatap cinta tanpa bisa mengatakan apa-apa. Dan hanya resah yang bisa kalian isyaratkan pada sang cinta.”
Diaz tak pedulikan alunan syahdu dan indah dari Payung Teduh yang membawakan Resah. Perhatiannya terfokus pada ‘sang cinta’, rasanya dia ingat di mana pernah membacanya.
***
Diaz berdiri diam di ujung bangku Mia. Dia menunggu sampai Mia mengangkat wajah dan berhenti pura-pura membaca apa pun di telepon genggamnya.
“Diaz, aku sudah maafkan kamu. Sekarang duduklah di bangkumu sendiri.”
Mia buru-buru kembali menunduk. Diaz sempat menangkap jengah di wajahnya. Dia pun menurut, kembali duduk di bangkunya meski kemudian mencondongkan badannya pada Mia.
“Jadi siapa Sang Cinta itu, Shaka?”
Dari napasnya yang tercekat, Diaz tahu kalau tembakannya barusan tepat mengenai sasaran. Namun rasa puasnya berganti sesal, ketika wajah Mia berangsur memucat.
“Hei, nggak perlu secemas itu. Rahasiamu aman bersamaku.” Diaz tersenyum untuk menenangkan Mia. Tapi sepertinya tak berhasil. Bulir-bulir keringat dingin mulai turun di dahi Mia.
“Kamu pasti sempat membacanya di bukuku kemarin. Jadi kamu pasti tahu, kan, siapa orangnya?” bisik Mia.
Diaz terkejut. Untuk beberapa saat dia berusaha mengingat kembali. Tapi nihil. Dia hanya ingat ‘sang cinta’ yang ditulis Mia berulang kali di buku itu.
“Aku nggak berpikiran jauh. Kukira itu draft tulisan kamu. Cerita fiksi.”
Tetap saja Mia gelisah. Bolpoin di tangannya mengetuk-ngetuk meja dalam irama macam kode darurat morse.
Sebetulnya tak hanya Mia yang menyimpan resah. Diaz pun belingsatan sendiri dengan geliat yang tengah bermain-main di dadanya. Apalagi setelah dia tahu kalau Shaka, penyiar favoritnya, yang menemani malam-malamnya, adalah Mia, teman satu kelas, penghuni bangku sebelah.
Apakah dia sedang jatuh cinta? Diaz mengakui telah jatuh cinta sejak lama pada Shaka, meski hanya karena suaranya. Tapi apakah itu berarti dia kasmaran juga pada Mia? Lagipula, siapa itu ‘sang cinta’? Sepertinya orang itu teramat istimewa bagi Mia.
***
Sebetulnya tidak ada yang aneh. Sebelumnya pun Diaz nyaris tidak pernah bercakap dengan Mia. Tapi sekarang Diaz sangat terganggu dengan kesunyian di antara mereka. Setiap perkataannya hanya berbalas anggukan ataupun gelengan.
“Mia, aku tahu tempat yang asyik buat kamu konsentrasi menulis.”
Diaz duduk menyamping, menghadapkan badan pada Mia dan berharap-harap cemas menunggu reaksinya.
“Ehmm…, di mana itu?”
Yes! Batin Diaz bersorak.
Baru saja mulutnya terbuka ketika tiba-tiba Ardi mendatangi mereka.
“Sorry ganggu bentar,” tangannya terangkat ke arah Diaz sebagai isyarat menyela percakapan. Entah kenapa Diaz tidak senang dengan interupsi itu.
“Mia, jam istirahat ke-2 nanti kamu dipanggil Bu Tami. Kamu mau diikutkan lomba menulis fiksi antar sekolah.”
“Ahh…, oh, ya....” Hanya suara-suara tak jelas yang keluar dari mulut Mia.
Diaz memperhatikan gelagat Mia yang tiba-tiba seperti ikan kehabisan oksigen.
“Mau aku temani?” Ardi menawarkan diri karena Mia terlihat gugup.
“Biar aku saja yang temani!” sela Diaz.
Mia sama terkejutnya dengan Diaz. Entah kenapa Diaz tidak nyaman melihat Mia salah tingkah dan tampak tersiksa.
“Oke kalau begitu.” Ardi pun undur diri.
Mia dan Diaz sama-sama memperhatikan punggung Ardi yang tengah berjalan menjauh. Namun Diaz yang lebih dulu berpaling dan kembali menatap Mia.
“Dia, kan, orangnya?”
Mia menoleh. “Orang apa?”
“Sang Cinta…”
Untuk sesaat Diaz kesulitan mengartikan tatapan mata Mia. Bola mata Mia bergerak-gerak seperti hendak menembus mata dan mencapai ke dalam kepalanya. Sekarang giliran Diaz yang jadi kikuk.
“Kenapa kamu sebegitu ingin tahu?”
Diaz terpojok. Dia mengakui sifat cowok seusianya yang hanya perhatian kalau ada maunya saja. Biasanya mereka hanya peduli segala hal tentang diri mereka sendiri. Hobi, olahraga kesukaan, dan band idola misalnya. Lalu keingintahuannya pada Mia apakah juga menyangkut dirinya sendiri? Pentingkah untuk dia ketahui?
Melihat Diaz terdiam, Mia merasa paham karena dia juga sering mengalaminya. Diam-diam dia menyembunyikan senyumnya.
“Diaz, kalau kamu mau tahu. Bukan dia orangnya. Lagian Sang Cinta itu hanya rekaan.”
Kalau saja Mia mau menahan tatapannya sebentar saja. Dia akan menangkap sorot lega dan kecewa yang bergantian di mata Diaz.
***
“Dear, Sobat Mada FM… Pernah tidak kalian merasakan jatuh cinta yang luapnya tertahan di tenggorokan? Rasa yang ada di dadamu membuncah, tapi tak sampai tumpah. Pernahkah?”
“Ini untuk kamu, yang…mungkin punya rasa yang sama dengan yang Sakha rasakan di sini.”
… Mataku terus tertuju padamu
Ingin ku sapa dirimu
Namun ku masih malu tuk hampiri dirimu
Diriku terdiam, aku menunggu, aku terpaku…
Lirik lagu Maliq semalam terus berputar di kepala Diaz. Seakan menabuhi setiap langkahnya hingga mencapai pintu kelas.
Ajaib. Sesaat dia berhenti di ambang pintu, musik di kepala Diaz pun berhenti. Bersamaan dengan kepala Mia yang terangkat, menoleh ke arah pintu kelas dan menemukan Diaz berada di sana. Seketika mereka berdua tahu, tentang rasa yang sedang genit menggoda mereka berdua.
*****
Website Gogirl! www.gogirlmagz.com pada Minggu, 26 Februari 2017.

No comments: