“Resital Kak Syair
sebulan lagi,” ujar Mina. Ucapannya lirih. Setengah ragu. Lebih ditujukan untuk
dirinya sendiri.
Irma melirik sekilas
pada Mina. Dia kurang yakin dengan telinganya. Mina sedang bicara dengan dia
atau bukan, sih? Perhatian Irma kembali pada lembar majalah yang terbuka.
“Irma! Kamu beneran,
nggak mau temani aku ke resital Kak Syair?”
Mendengar namanya
disebut, barulah Irma menoleh.
“Menemani kamu berlatih
saja aku mengantuk. Apalagi harus mendengarkan denting piano selama dua jam.
Bisa-bisa aku terbius seperti Putri Aurora,” canda Irma sambil memejamkan kedua
matanya.
Tapi Mina sepertinya
tidak tertarik untuk tertawa. Irma jadi kikuk.
“Masalahnya apa, sih?”
Irma menutup majalah dan serius menunggu jawaban Mina.
“Mamaku nggak kasih
ijin kalau aku pergi sendiri. Padahal buat beli tiket aku harus minta uang
Mama.”
Irma ikut diam
termenung setelah mendengar jawaban Mina.
Sebenarnya Mina tahu
beberapa siswa di sekolahnya yang akan pergi ke resital juga. Tapi tidak ada
yang Mina kenal dekat. Dia merasa canggung kalau harus pergi bersama salah satu
dengan mereka.
Sekali lagi Mina
melancarkan tatapan memohon. Dan jawaban Irma tetap berupa gelengan kepala.
@@
“Minggu depan giliran
kelasku menyiapkan mading. Gantian, ya, kamu bantuin aku,” kata Mina. Tangannya
sibuk menggunting kolase puisi buatan teman-teman kelas Irma. Sementara Irma
menempelnya serupa puzzle pada lembar karton yang lebih lebar.
Irma berdeham. “Kenapa
kamu nggak minta ditemani resital sebagai balasan?”
“Aku, kan, menghargai
alasan kamu,” Mina mengerling menggoda,”lagipula …, sayang juga tiketnya kalau
cuma buat tidur di dalam hall.”
Irma tergelak.
“Eh, kenapa nggak pergi
sama Suta aja?”
Mina terhenyak
mendengar usul Irma. Ide itu sudah terlintas, tapi Mina malas. Apalagi beberapa
hari ini kelakuan Suta makin meresahkan.
“Ih, enggaklah!” Tanpa
sadar bahu Mina bergidik.
“Kenapa? Itu, kan,
resital kakaknya. Pasti dia datang, dong,” ujar Irma berkeras.
Mina melempar pandangan
‘please …, deh’ pada Irma yang disambut dengan tawa berderai oleh sahabatnya
itu.
Irma baru ingat kalau
belakangan ini Mina seperti main petak umpet dengan Suta. Apalagi kemudian
beredar kabar kalau Suta suka sama Mina.
“Apa nggak sebaiknya
kamu terima dulu surat yang mau Suta kasih ke kamu. Jadi dia bisa berhenti
kejar-kejar kamu.”
Mina mendengus keras.
Rasanya ajaib kalau tiba-tiba Suta jadi mengejar-ngejar dia. Bukankah selama
ini mereka berteman baik? Lalu tiba-tiba
Suta menjadi seperti orang asing. Jarang nongkrong sama-sama lagi di kantin.
Nggak pernah lagi seru-seruan nunggu angkot.
Lalu tahu-tahu juga
Suta bertingkah aneh. Mendekat sambil malu-malu dengan sepucuk amplop di
tangannya. Mina tentu saja gugup dan memilih mencari alasan basi untuk
menghindari Suta. Begitu terus yang terjadi selama beberapa hari ini. Begitu
jambul Suta terlihat, Mina pun segera melesat berpindah tempat.
“Kamu nggak enak, kan,
sama Suta? Karena diam-diam kamu suka sama Kak Syair?”
Tebakan Irma membuat
Mina menutup muka.
@@
Irma tiba-tiba berdiri.
“Min, tunggu sini dulu ya, aku mau pesan minum.”
Mina hanya mengangguk.
Perhatiannya lekat pada tayangan youtube resital Syair tahun lalu yang tidak
bisa Mina hadiri. Waktu itu bersamaan dengan ujian semester. Kali ini Mina
harus bisa datang.
“Mina.”
Mina tergeragap. Baru
sadar kalau bukan Irma yang memanggilnya.
Terlambat untuk
menghindar. Suta sudah duduk di hadapannya.
“Kenapa, sih, ngilang-ngilang melulu?”
Bibir Mina mencebik.
Barusan dia mengedarkan pandangan dan menemukan Irma duduk tak jauh dibelakangnya
sambil melambaikan tangan dan tersenyum usil.
“Kamu, tuh, yang aneh
duluan. Nggak pernah jalan sama-sama lagi sepulang sekolah. Nggak pernah gabung
kongkow di kantin juga.”
Mata Suta berputar ke
atas.
“Memangnya enak, kalau
sepanjang jalan, selama waktu istirahat, yang diomongin abang aku terus.”
Mata Mina membulat.
Jadi, Suta jealous? Ah, kenapa dia tidak sadar?
Rasanya ingin menepuk-nepuk jidatnya saat itu juga. Tapi tentu akan terlihat
kocak di mata Suta.
Jari Suta mendorong
sepucuk amplop ke arah Mina.
Duh, bagaimana ini.
Berbutir-butir peluh memenuhi dahi Mina.
“Nggak usah panik gitu!
Lihat dulu isinya.” Ada nada mendesak dalam suara Suta. Dia seperti bisa
membaca kemelut di kepala Mina.
Mina bisa melihat
jari-jarinya bergetar halus saat membuka amplop itu. Berikutnya bukan hanya
matanya yang membulat. Mulutnya pun menganga lebar.
“Ya ampun, Suta! Ini
dari Kak Syair?”
Padahal jelas-jelas ada
goresan ‘from Syair’ pada bagian belakang amplop itu.
Tak sadar ada yang
menggenang di pelupuk Mina.
Suta menyandarkan
punggungnya. Dia terlihat puas dan lega.
“Tapi, sama siapa, ya?”
Mina memandangi dua lembar tiket di tangannya.
Suta menghela napas
keras-keras.
“Sama aku, lah!
Memangnya kamu ada pilihan lain?”
Mina menutup mukanya
dengan kedua tangannya. Sepertinya memang dia tak punya pilihan lain.
-SELESAI-
No comments:
Post a Comment