Friday, October 27, 2017

Pilihan untuk Mina (Cerma - Minggu Pagi, Jum'at 20 Oktober 2017)





“Resital Kak Syair sebulan lagi,” ujar Mina. Ucapannya lirih. Setengah ragu. Lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Irma melirik sekilas pada Mina. Dia kurang yakin dengan telinganya. Mina sedang bicara dengan dia atau bukan, sih? Perhatian Irma kembali pada lembar majalah yang terbuka.

“Irma! Kamu beneran, nggak mau temani aku ke resital Kak Syair?”

Mendengar namanya disebut, barulah Irma menoleh.

“Menemani kamu berlatih saja aku mengantuk. Apalagi harus mendengarkan denting piano selama dua jam. Bisa-bisa aku terbius seperti Putri Aurora,” canda Irma sambil memejamkan kedua matanya.

Tapi Mina sepertinya tidak tertarik untuk tertawa. Irma jadi kikuk.

“Masalahnya apa, sih?” Irma menutup majalah dan serius menunggu jawaban Mina.

“Mamaku nggak kasih ijin kalau aku pergi sendiri. Padahal buat beli tiket aku harus minta uang Mama.”

Irma ikut diam termenung setelah mendengar jawaban Mina.

Sebenarnya Mina tahu beberapa siswa di sekolahnya yang akan pergi ke resital juga. Tapi tidak ada yang Mina kenal dekat. Dia merasa canggung kalau harus pergi bersama salah satu dengan mereka.

Sekali lagi Mina melancarkan tatapan memohon. Dan jawaban Irma tetap berupa gelengan kepala.

@@

“Minggu depan giliran kelasku menyiapkan mading. Gantian, ya, kamu bantuin aku,” kata Mina. Tangannya sibuk menggunting kolase puisi buatan teman-teman kelas Irma. Sementara Irma menempelnya serupa puzzle pada lembar karton yang lebih lebar.

Irma berdeham. “Kenapa kamu nggak minta ditemani resital sebagai balasan?”

“Aku, kan, menghargai alasan kamu,” Mina mengerling menggoda,”lagipula …, sayang juga tiketnya kalau cuma buat tidur di dalam hall.”

Irma tergelak.

“Eh, kenapa nggak pergi sama Suta aja?”

Mina terhenyak mendengar usul Irma. Ide itu sudah terlintas, tapi Mina malas. Apalagi beberapa hari ini kelakuan Suta makin meresahkan.

“Ih, enggaklah!” Tanpa sadar bahu Mina bergidik.

“Kenapa? Itu, kan, resital kakaknya. Pasti dia datang, dong,” ujar Irma berkeras.

Mina melempar pandangan ‘please …, deh’ pada Irma yang disambut dengan tawa berderai oleh sahabatnya itu.

Irma baru ingat kalau belakangan ini Mina seperti main petak umpet dengan Suta. Apalagi kemudian beredar kabar kalau Suta suka sama Mina.

“Apa nggak sebaiknya kamu terima dulu surat yang mau Suta kasih ke kamu. Jadi dia bisa berhenti kejar-kejar kamu.”

Mina mendengus keras. Rasanya ajaib kalau tiba-tiba Suta jadi mengejar-ngejar dia. Bukankah selama ini  mereka berteman baik? Lalu tiba-tiba Suta menjadi seperti orang asing. Jarang nongkrong sama-sama lagi di kantin. Nggak pernah lagi seru-seruan nunggu angkot.

Lalu tahu-tahu juga Suta bertingkah aneh. Mendekat sambil malu-malu dengan sepucuk amplop di tangannya. Mina tentu saja gugup dan memilih mencari alasan basi untuk menghindari Suta. Begitu terus yang terjadi selama beberapa hari ini. Begitu jambul Suta terlihat, Mina pun segera melesat berpindah tempat.

“Kamu nggak enak, kan, sama Suta? Karena diam-diam kamu suka sama Kak Syair?”

Tebakan Irma membuat Mina menutup muka.

@@

Irma tiba-tiba berdiri. “Min, tunggu sini dulu ya, aku mau pesan minum.”

Mina hanya mengangguk. Perhatiannya lekat pada tayangan youtube resital Syair tahun lalu yang tidak bisa Mina hadiri. Waktu itu bersamaan dengan ujian semester. Kali ini Mina harus bisa datang.

“Mina.”

Mina tergeragap. Baru sadar kalau bukan Irma yang memanggilnya.

Terlambat untuk menghindar. Suta sudah duduk di hadapannya.

“Kenapa, sih, ngilang-ngilang melulu?”

Bibir Mina mencebik. Barusan dia mengedarkan pandangan dan menemukan Irma duduk tak jauh dibelakangnya sambil melambaikan tangan dan tersenyum usil.

“Kamu, tuh, yang aneh duluan. Nggak pernah jalan sama-sama lagi sepulang sekolah. Nggak pernah gabung kongkow di kantin juga.”

Mata Suta berputar ke atas.

“Memangnya enak, kalau sepanjang jalan, selama waktu istirahat, yang diomongin abang aku terus.”

Mata Mina membulat.

Jadi, Suta jealous? Ah, kenapa dia tidak sadar? Rasanya ingin menepuk-nepuk jidatnya saat itu juga. Tapi tentu akan terlihat kocak di mata Suta.

Jari Suta mendorong sepucuk amplop ke arah Mina.

Duh, bagaimana ini. Berbutir-butir peluh memenuhi dahi Mina.

“Nggak usah panik gitu! Lihat dulu isinya.” Ada nada mendesak dalam suara Suta. Dia seperti bisa membaca kemelut di kepala Mina.

Mina bisa melihat jari-jarinya bergetar halus saat membuka amplop itu. Berikutnya bukan hanya matanya yang membulat. Mulutnya pun menganga lebar.

“Ya ampun, Suta! Ini dari Kak Syair?”

Padahal jelas-jelas ada goresan ‘from Syair’ pada bagian belakang amplop itu.

Tak sadar ada yang menggenang di pelupuk Mina.

Suta menyandarkan punggungnya. Dia terlihat puas dan lega.

“Tapi, sama siapa, ya?” Mina memandangi dua lembar tiket di tangannya.

Suta menghela napas keras-keras.

“Sama aku, lah! Memangnya kamu ada pilihan lain?”

Mina menutup mukanya dengan kedua tangannya. Sepertinya memang dia tak punya pilihan lain.



-SELESAI-

No comments: