Friday, February 09, 2018

Perjalanan Pia (Dimuat di Majalah Gadis bulan November tahun 2017)

Doc. Pribadi
“Mama senang kamu ke sini.”
Pia membalas pelukan mamanya dan meringis ketika dekapan itu semakin erat.
Mama masih sama seperti terakhir kali dia mengingatnya. Potongan rambutnya juga tidak berubah. Mama selalu mempertahankan rambut ikal sebatas tengkuknya. Hanya harum tubuh Mama yang asing bagi Pia.
Mama menanyakan kabar Papa sembari menarik koper bawaan Pia.
“Akhir-akhir ini Papamu nggak bisa ngobrol lama-lama sama Mama, Pi. Papamu sedang sibuk, ya?”
Mama menoleh karena tak didengarnya jawaban dari Pia. Padahal Pia sudah menjawab ‘ya’ meski hanya dia yang dapat mendengarnya. Changi sore itu memang luar biasa bisingnya.
“Capek, ya, kamu?”
Mama mengambil ransel di bahu Pia dan memindahkannya ke bahu kirinya. Sementara lengan kanannya bergerak merengkuh bahu Pia. Untuk sesaat Pia tenang karena Mama mengira dia lesu karena lelah.
***
Apartemen Mama di Little India terasa tak jauh beda dengan apartemen Papa di Kalibata. Hanya orang-orang di sekitarnya saja yang membuat Pia canggung. Mereka dengan ringan melempar senyum. Muka-muka ramah yang justru membuat Pia ingin segera berlari ke sudut ruangan dan menutup dirinya dengan apapun.
“Kamu nggak buru-buru pulang, kan?”
Pia menghirup uap yang keluar dari mangkuk penne carbonara-nya sebelum menggelengkan kepalanya. Kegemaran makanan mereka masih sama, pasta. Dan pasta buatan Mama tak ada duanya buat Pia.
“Kalau boleh, Pia rencananya mau empat hari di sini, Ma.”
Lihat, seiring bahu yang sontak menegak dan mata yang membulat, Mama memekik senang. Pia bahagia bisa melihat lucunya ekspresi Mama lagi.
“Kamu mau seminggu juga boleh, sayang. It’s ok!”
Tapi sedetik kemudian bibir Mama mencebir sebal.
But, mungkin kamu harus sendirian dulu hari ini. Mama ada ada meeting penting.”
Tangan Mama bergerak menggenggam kedua tangan Pia.
“Maaf, ya. Mama usahakan bisa pulang lebih cepat, lalu kita dinner di tempat yang asyik.”
Pia mengangguk. Sambil perlahan menghabiskan sarapannya, mata Pia menikmati pemandangan saat Mama berloncatan dari meja dapur, memungut buku-buku di ruang tengah, mengeluarkan handuk ke balkon, menyusun benda-benda di atas kulkas, menata bantal kursi dan merapikan tempat tidur. Semua bisa Pia ikuti dari tempatnya duduk, di kursi bar, di dapur mini Mama.
Coba Papa melihat ini. Pasti ijin melepas Pia untuk tinggal bersama Mama tidak akan pernah dikeluarkan. Papa mengira setelah menjalani karir yang diimpikannya, hidup Mama akan lebih rapi dan teratur. Namun rupanya tidak.
Entah kenapa Pia justru ingin tersenyum. Baginya Mama merasa bahagia saja sudah cukup. Pia tidak pernah merasa kehilangan cinta Mama, meski wanita itu lebih memilih peluang karir yang hebat daripada bersama Pia. Dia cukup mengerti bahwa ketika itu bukan Mama yang ingin berpisah dengannya, tapi Papa yang tidak mengijinkan Mama membawa Pia.
“Mamamu itu selebor. Papa lebih bisa mengurusmu daripada Mama.”
Waktu Papa mengatakan itu, Pia juga tak bisa berkeluh. Itulah bentuk cinta Papa. Tapi itu kemarin, waktu hanya ada Pia dan Papa berdua saja. Tapi sekarang ada Tante Ina. Masih bisakah Papa mengurusnya?
Apalagi dengan kondisi Pia sekarang ini. Hidup bersama Mama yang berjiwa riang dan ringan akan lebih nyaman bagi Pia. Karena kecemasan yang kerap bersarang di mata Papa hanya membuat dada Pia makin tercubit.
***                
Seingat Pia janji Mama memang tidak pernah meleset. Sore ini pun Mama memenuhi ucapannya dengan muncul di pintu apartemen tepat waktu.
“Yuk, sudah siap?”
Pia tak heran lagi melihat Mama yang hanya masuk untuk berganti alas kaki dan menukar blazernya dengan cardigan.
“Nggak ingin mandi dulu, Ma?”
Mama memberi kode pada Pia untuk mengikutinya.
“Mama biasa mandi malam, karena pulangnya selalu malam juga,” seloroh Mama diikuti tawanya yang lepas dan renyah. Mood Pia yang semula jelek karena bosan pun berangsur membaik.
Setelah melewati dua stasiun MRT, Mama membimbing Pia turun ketika kereta tiba di stasiun Clarke Quay.
”Di sini tempatnya anak-anak muda hangout. Semoga kamu suka!”
Begitulah Mama. Tidak pernah belagak sok tua dengan menebak apa yang Pia suka. Dan harapan Mama terkabul. Pia memang menyukai atmosfer ceria di dermaga ini.
Banyak muda-mudi seusia Pia yang berkelompok duduk-duduk santai di tepi Singapore River. Pia memberi isyarat pada Mama ketika akan mengambil bangku yang sedikit menjauh dari keriuhan, meski masih berada di dekat bibir sungai juga. Restoran-restoran yang ada di situ baru sedikit yang buka, jadi suasana sore itu masih belum begitu ramai. Sambil menunggu Mama membawakannya makan malam, Pia mengikuti alun perahu-perahu kecil berlampu warna-warni dengan matanya.
“Tadi Papamu telpon Mama,” Mama meletakkan nampan yang dibawanya sebelum duduk di seberang Pia,”Papamu ingin tahu apakah kamu baik-baik saja.”
Pia takjub dengan chicken wings satu pot besar yang ada di hadapannya. Dia baru sadar kalau tidak ada makanan lain yang dibawa oleh Mama. Jadi ini yang disebuat makan malam oleh Mama? Pia geli sendiri namun dia menyimpan senyumnya.
“Papa bilang apa lagi, Ma?”
Mama terlihat sedikit ragu sebelum memberikan jawabannya. “Hmmm …, Papamu bilang kalau … dia mau menikah lagi.”
Pia menegakkan punggung lalu mendekatkan wajahnya ke arah Mama. Senyumnya mengembang.
“Tenang, Ma. Aku nggak papa, kok! Tante Ina, calonnya Papa itu orangnya baik.”
Kekhawatiran di wajah Mama lenyap. Berganti dengan pandangan menyelidik dengan satu alis mata terangkat.
“Seperti apa Tante Ina itu?”
Pia mencecap-cecap sayap ditangannya. Sengaja memberi jeda tak segera menjawab untuk menggoda Mama.
“Sama sekali tidak seperti Mama,” ujar Pia singkat. Matanya melirik pada Mama. Lalu sedetik kemudian mereka terbahak sama-sama.
“Syukurlah …, syukurlah …,” kata Mama disela sengal tawanya.
“Lalu, Papa cerita apa lagi, Ma?” Pia merasakan suaranya sendiri bergetar. Semoga Mama tidak menyadarinya.
“Cuma itu aja. Selain menanyakan kabarmu, dan kapan kamu mau pulang.”
Debar di dada Pia semakin membuatnya gugup. Buru-buru disambarnya gelas orange juice dan membuang pandangannya kembali pada perahu-perahu kecil di atas air sungai yang mulai memantulkan cahaya lampu-lampu hias. Berarti Papa menepati janjinya untuk membiarkan Pia sendiri yang bercerita pada Mama.
***
Ornamen-ornamen decoupage di beberapa sudut ruangan menyelamatkan dinding apartemen Mama dari kekosongan. Hanya ada dua bingkai foto di dalam apartemen dua kamar itu. Satu di atas nakas di kamar Mama, satu lagi di atas meja kaca yang membatasi dapur dan ruang tengah. Keduanya berisi foto Pia dan Mama.
Pia menoleh dengan enggan dan mengernyit heran saat Mama keluar dari kamar memakai baju yang dipakainya semalam. Geraknya pun santai. Tidak gedubrakan seperti biasa kalau akan berangkat kerja.
“Besok, kan, kamu mau pulang. Jadi Mama ambil cuti dua hari,” jawab Mama waktu Pia menyatakan keheranannya.
“Jadi, kamu mau Mama antar kemana hari ini?”
Pia menaikkan kerah kimono yang dia pakai. Tiba-tiba saja hawa dingin menyelinap dan membelai tengkuknya.
“Nggak usah kemana-mana, Ma. Kalau cuma mal pertokoan, sih, di Jakarta juga ada.”
Denting kepala sendok beradu dengan dasar gelas mengisi keheningan, bersamaan dengan harum kopi yang menguar.
“Di sini nggak melulu pertokoan, lho! Ada wisata alamnya juga.”
Segelas teh hangat berpindah ke tangan Pia. Mama yang membuatnya.
“Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol aja?”
Terburu-buru Mama meletakkan cangkir kopinya. Punggung tangannya bergerak menyentuh dahi dan kedua pipi Pia.
“Kamu sakit? Nggak panas, tuh? Capek ya, kebanyakan jalan?”
Senyum simpul terukir di wajah Pia waktu Mama bicara panjang lebar tentang kebiasaan jalan kaki orang-orang di Singapura.
“Kalau kita jalan 300 meter aja udah merasa jauh. Kalau di sini, 500 meter sampai 1 kilo masih dibilang dekat.”
Tangan Mama bergerak lagi. Kali ini telapak tangannya menangkup di kedua sisi leher Pia.
“Nggak hangat , tuh.”
“Ma …,” Pia mengambil tangan Mama dari leher namun tak melepaskan genggamannya.
“Aku mungkin akan tinggal dengan Mama.”
Lagi-lagi Pia mengernyit ketika genggaman tangan Mama tiba-tiba mengencang.
“Benar? Tapi kenapa?” Mama membutuhkan satu teguk kopi untuk menenangkan dirinya,”Apa karena Papamu mau menikah lagi?”
Pia membenarkan ucapan Mama lewat senyuman dan alis yang naik turun.
“Iya, salah satu sebabnya itu.” Perlahan punggung Pia rebah. Kepalanya memaling ke kanan menumpukan pipi pada puncak sandaran kursi, lalu menatap lekat tepat di mata bulat Mama.
“Aku sakit, Ma.”
Sungguh Pia ingin berhenti bicara ketika dilihatnya Mama berangsur pias dan lupa menarik napas. Tapi dia harus bercerita selagi masih ada nyawa di tubuhnya. Tentang penyakit leukemia yang tiga tahun lalu diketahui hinggap di badannya. Tentang entah bagaimana penyakit itu tahu-tahu sudah menjadi stadium tiga.
“Papa menunggu aku memberi tahu Mama. Setelah itu Papa akan membicarakan segala sesuatunya dengan Mama.”
“Tapi …, bagaimana …?” Kelu batin Pia melihat Mama yang mendadak jadi gagu.
Pia menjelaskan hasil diskusinya dengan Papa. Tapi dia melewatkan bagian dimana dia setengah memaksa pada Papa untuk diijinkan tinggal dengan Mama.
“Pa, aku bisa melanjutkan pengobatan di Mount Elizabeth seperti rekomendasi Dokter Firman,” dengan terbata dia melanjutkan, “dan kalau memang aku tak selamat, aku ingin menghabiskan sisa waktu bersama Mama.” Papa yang sepanjang mereka berbincang selalu menggenggam tangan Tante Ina seketika tersuruk di bahu wanita yang dicintainya itu. Papa yang selama lima tahun selalu terlihat kuat di mata Pia malam itu menumpahkan airmata tanpa malu-malu.
“Ma …, leukemia bukan vonis mati. Aku kesini karena ingin menangkap energi Mama. Bergembira bersama Mama, sebelum aku lupa bagaimana rasanya tertawa bersama Mama.” Tangan Pia terulur mengambil kotak tisu dan menyodorkannya pada Mama.
Tawa kecil Pia menyela di tengah sedan tangis Mama. Telunjuknya meminta Mama untuk menoleh pada cermin di samping pintu kamar mandi.
“Baru menangis sebentar saja, mata Mama sudah sebesar bola ping-pong.”
Ini kali kedua Pia melihat sembab besar di wajah Mama. Sebelumnya adalah saat Mama harus meninggalkan Pia bersama Papa setelah putusan dari pengadilan dijatuhkan.
“Kalau begitu kamu tak usah pulang. Jangan kemana-mana lagi.”

Bersama sisa tangisnya Mama merengkuh Pia dan menciumi puncak kepalanya. Lama mereka berdua berpelukan dalam hening, sebelum Mama memekik ketika tetesan darah dari hidung Pia jatuh di punggung tangannya. Pia tak dapat mendengar panggilan mamanya lagi. Dia tengah melanjutkan perjalanannya.*)

No comments: