‘Selamat, ya…’
Pesan pendek itu tergores dengan tinta gel biru, diatas kertas toska
berbentuk wajik. Kecil saja. Tersemat dengan benang wol biru tua yang mengikat
sekantong cokelat koin. Beta tahu siapa pengirimnya tanpa perlu melihat gaya
tulisan yang sudah sangat dikenalnya itu. ALFA.
Alfa mulai suka memberinya cokelat koin sejak Beta masih TK. Tiap ada
tes semester dan pulang lebih awal, Alfa akan menjemputnya. Menunggu dengan
sabar di pagar sekolah sampai Beta keluar dari kelas dan berlarian menghampirinya.
Bukan Alfa yang disambutnya dengan girang, melainkan dua keping cokelat koin di
tangan Alfa.
“Dari kakak kelas, ya? Hebat loh, baru dua minggu jadi murid baru,
kamu sudah ditaksir kakak kelas.”
Mia ikut terkejut ketika melihat Beta mengeluarkan kantong cokelat
berbungkus kertas emas dan perak itu dari laci meja. Tapi melihat muram di
wajah Beta membuat Mia buru-buru menutup mulutnya yang sudah setengah terbuka.
Dia sudah bersiap hendak memekik norak andaikata Beta pun melakukan hal yang
sama. Namun hanya helaan napas yang terdengar berat saja yang dikeluarkan Beta.
Kantong cokelat koin tadi berpindah ke dalam ransel Beta, tanpa keinginan untuk
membukanya.
Sementara di balik kaca jendela, seseorang memperhatikan dan kemudian
pergi dengan senyum tertahan di wajahnya.
@@
Beta menatap lekat wajah Mia. Mulutnya terkatup rapat namun matanya
bergerak energik. Sesekali memincing, seolah ingin menembus isi kepala kawan
barunya itu. Bisakah Mia menyimpan rahasia? Beta mungkin bisa mengabaikan
teman-temannya yang lain, tapi mana mungkin dia tidak mengacuhkan Mia yang
duduk sebangku dengannya.
Baru saja Mia bercerita kalau teman-teman tahu tentang pemberian cokelat
tempo hari. Ada satu anak yang melihat ketika Alfa menyelinap ke dalam kelas,
dan tentu saja kejadian berpotensi gosip itu kini sudah diketahui oleh hampir
separuh angkatan murid baru. Entah apakah berita itu tersebar di kalangan kakak
kelas juga, Beta tidak terlalu peduli.
“Mi, Alfa itu abang aku.”
Seperti dugaan Beta, Mia pasti kaget. Benar saja, mata Mia nyaris
lepas dari rongganya.
Beta membuang pandangannya keluar jendela kantin. Menyebut nama Alfa dan
mengingat bahwa Alfa adalah kakaknya membuat dada pedih dan mata pedas.
“Tiga tahun yang lalu orangtua kami berpisah, begitu pula kami.”
Mia bisa melihat guncangan itu di mata Beta. Tergesa dia berpindah
duduk dan merengkuh bahu Beta.
“Sudah. Aku sudah cukup tahu.”
Beta merasa tak salah memilih teman sebangku dan dengan membagi
kisahnya, Beta telah memutuskan untuk menjadikan Mia sebagai sahabatnya.
@@
Kerut di dahi Papa makin dalam ketika memeriksa formulir angket
ekstra kulikuler yang membutuhkan tandatangannya.
“PMR?”
Beta menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya. Gaya khasnya jika
memohon. Matanya membeliak jenaka, merayu papanya.
“Kenapa bukan sinematografi, atau … ini, majalah dinding. Kamu suka
kegiatan seperti itu, kan?”
Beta diam saja. Sinar matanya meredup. Cukup menjadi syarat untuk Papa
mengerti situasi.
“Ada Alfa, ya. Kamu masih marah pada abangmu? Terakhir kali dia
menelepon Papa, dia bilang senang sekali bisa satu sekolah denganmu. Dia kangen
kamu.”
Papa hanya bisa memandangi poni Beta yang menjuntai menutupi wajahnya
yang menunduk.
“Papa tahu, kan, sebenarnya aku marah pada siapa.”
Keduanya terdiam. Papa pura-pura memperhatikan tayangan film di tv
yang sudah sejak 15 menit tadi dia acuhkan. Dia mencoba menebak jalan cerita
yang terlewat, namun sia-sia. Beta telah menyita seluruh konsentrasinya.
Beta tak kalah resah. Siapa
yang tak merindukan abang seperti Alfa? Namun rindu itu kalah, terhajar oleh
sepi dan marah saat dia ditinggalkan.
-Mama perlu orang yang bisa
mengingatkannya untuk sesekali berhenti. Andaikan Papa bisa, saat ini kita
berempat masih akan tetap bersama. Kau masih terlalu kecil, adikku. Jadi
ikhlaskan aku menjaga Mama kita.-
Itu petikan surat pertama dari Alfa, satu minggu setelah Beta dan Papa
pindah ke sudut kota yang lain. Tapi bagian hati Beta untuk Mama telah beku.
Itu sebabnya dia erat menggenggam tangan Papa ketika Hakim bertanya dengan
siapa dia memilih ikut. Beta bergeming meski mukanya basah oleh air mata dari
perempuan yang telah melahirkannya, sebab sepanjang ingatan Beta, Mama acap
mengabaikannya.
@@
“Bet, Mama titip salam.”
Sejak masuk kantin tadi, Beta sudah menangkap sosok Alfa. Dan karena
mereka bersaudara, Beta yakin dengan segera Alfa akan merasakan kehadirannya.
Mia menyingkir begitu terlihat Alfa berjalan menghampiri. Mendengar
semua cerita Beta membuat Mia mengerti seberapa penting waktu bertemu bagi
kakak beradik itu. Beta juga tidak berusaha menahan Mia. Mungkin kali ini dia
ingin memenangkan rasa rindunya.
“Aku …, aku ceritakan kabarmu pada Mama setiap hari.”
Diamnya Beta bukan karena ego. Ingin dia memeluk lengan Alfa seperti
kebiasaannya dulu bila sedang gemas. Tapi baru Mia yang tahu siapa Alfa.
Bisa-bisa seisi kantin gempar.
Beta menebak tinggi Alfa sekarang. Tiga tahun yang lalu Beta masih
setinggi telinga Alfa. Sekarang mungkin beda mereka lebih dari satu kepala.
Bahu Alfa kini lebih lebar dari terakhir kali Beta melihatnya. Ikal ekor udang bago ditengkuknya sudah hilang. Berganti dengan bayangan kelabu sisa bercukur.
Abangnya tampak dewasa. Tahun depan sudah masuk perguruan tinggi. Bagaimana
kalau Alfa kuliah di kota lain? Ketakutan kembali menyergap Beta.
“Mama masih sering pulang malam?”
Alfa menggeleng. “Sejak empat bulan yang lalu, Mama mutasi ke bagian
yang lebih banyak kerja di kantor. Keluar kota juga sudah jarang sekali.”
“Mbok Nah, masih?”
“Masih, kalau tidak siapa yang cuci baju seragamku?” Roman kocak yang
dipasang Alfa memancing secarik tarikan bibir di wajah Beta.
“Salam, ya, buat Mbok Nah.”
Alfa mengangguk. Sorot matanya berharap, menunggu sesuatu keluar dari
bibir Beta.
“Untuk Mama?”
Beta bangkit berdiri. “Kabarkan saja kalau aku … sehat.” Ada yang
membayang di matanya, saat Beta mengucapkan kalimat itu.
Alfa terpekur di tempatnya. Dalam hati dia mengeluh, ‘Mama, apa yang
sudah kau lakukan pada anak gadismu?’
@@
Beta mulai terbiasa dengan adanya Alfa. Sekantung cokelat koin ‘dark
chocolate’ acap dia dapat dari dalam lacinya. Sekarang dia tersenyum tiap kali
menemukannya dan dengan senang hati membaginya dengan Mia.
Tempo hari Alfa menghampiri Beta saat latihan PMR. Wajahnya tampak
khawatir. Beta tahu penyebabnya. Pasti karena mukanya terlihat memerah.
“Latihan PMR di dalam kelas hanya awal-awal saja, Bet. Kelas teori.”
“Iya, tahu.” Beta acuh. Perhatiannya bergantian antara simpul-simpul
di tangannya dan catatan pada bukunya.
Alfa kembali mengingatkan soal Beta yang tak boleh berpanas-panas
terlalu lama.
“Jangan sampai kamu pingsan lagi seperti waktu latihan paskibar dulu
itu.”
Beta mengingat lagi kejadian dua tahun lalu itu. Gara-gara penyakit
anemianya, dia tereliminasi dari seleksi petugas pengibar bendera agustusan.
Alfa pasti tahu dari Papa. Tapi ke mana dia waktu? Ke mana Mama? Beta menyadari
sendiri, pandangan matanya menjadi bengis tiap kali teringat Mama.
Alfa mendekat, membantu memegang bilah tongkat yang akan diikat Beta
sebagai sudut-sudut tandu darurat. Dia bisa menangkap mendung yang menyergap di
tengah terik matahari sore.
“Aku dan Mama buru-buru datang ke rumahsakit. Tapi kami pulang sebelum
kamu sadar,” Alfa melirik wajah datar adiknya, “kata Papa, khawatir kondisi
kamu drop lagi kalau emosi karena melihat aku dan Mama.”
Gerakan tangan Beta terhenti. “Cokelat itu, Abang yang bawa, ya?”
Beta ingat, ada sekantung cokelat koin di samping tempat tidurnya
waktu dia siuman. Dia pikir itu dari Papa. Mungkin Papa mengira Beta akan tahu
dengan sendirinya tentang kehadiran abangnya dengan adanya cokelat kesukaannya
itu.
Alfa senang Beta telah mengingatnya. Dia pamit untuk kembali ke ruang
mading setelah meninggalkan pesan supaya Beta berhati-hati dan tetap berada di
tempat yang teduh.
@@
“Non Beta demam, Bu,” Mbok Nah berulang kali mengusapkan sapu tangan
handuk ke kening Beta.
Beta yang setengah terpejam dalam gendongan Mbok Nah dapat melihat
bayangan Mama yang cemas, namun tetap bergerak ke sana ke mari dengan tangan
yang sigap mengumpulkan kertas-kertas untuk dimasukkan ke dalam tas kerjanya.
Apa yang kau khawatirkan, Ma? Rapat penting yang sudah menunggu atau aku yang
tengah menggigil?
Mama bicara entah apa pada Mbok Nah. Tangannya menunjuk pada botol
kecil yang baru dia keluarkan dari dalam lemari es. Lalu tanpa belaian, pelukan
maupun ciuman, Mama keluar lewat pintu depan. Tak lama suara sedannya terdengar
melaju. Tahulah Beta mana yang lebih penting bagi Mama. Bagian hatinya untuk
Mama berangsur mengeras.
Lalu Mama ada di sana, berdiri dengan dua tangan bersilang di dada.
Pandangannya mengikuti langkah Beta dan Papa sampai masuk ke dalam mobil dan
keluar dari Pengadilan. Beta hanya sekali menoleh. Memberi kesempatan pada
hatinya untuk mencair, namun tak mungkin terjadi dalam momen sekejap itu.
Mama sedang bersalaman dengan Presdir perusahaan real estate besar,
Mama sedang presentasi di depan puluhan orang, Mama dengan setelan yang elegan,
Mama sedang menunjukkan objek perumahan pada kliennya, Mama sedang gala dinner,
Mama sedang di sini, Mama sedang di sana. Beta diam-diam mengintip dunia Mama
lewat akun medsosnya. Mungkin sekedar
ingin tahu, atau tanpa sadar ingin memastikan bahwa mamanya baik-baik saja.
Entahlah. Sekarang ini Beta tak lagi tahu bagaimana perasaannya terhadap Mama.
@@
Minggu ini tak ada kiriman cokelat koin dari Alfa. Kata Papa, juga
kata Kepala Sekolah di upacara tempo hari, Alfa dan teman-teman klub sinema-nya
tengah mengikuti kompetisi film pendek di Bandung. Mungkin Senin depan dia
sudah kembali masuk sekolah.
Beta merasa seperti ketika dulu masih kecil, selalu mencari-cari keberadaan
Alfa. Dia bisa meraung kencang hanya karena mendapati Alfa tak ada di
sampingnya saat bangun tidur. Atau ketika Alfa bermain sepakbola dengan
teman-temannya, Beta kecil menangis dan menyusul ke lapangan. Menunggu Alfa
pulang hanya menyebabkan dadanya sesak. Beta seperti kembali merasakan
saat-saat kehilangan abangnya dulu.
Jadwal PMR Beta bersamaan dengan kegiatan mading Alfa. Tapi mungkin
siang ini Alfa tak ada, karena seharian tadi Beta tak melihatnya di manapun.
Andai saja ada abangnya sekarang ini. Menemaninya berbincang sebentar saja,
agar Beta bisa merasakan lagi bahagianya memiliki kakak, meski mereka hanya
bertemu di sekolah.
Beta mengusap peluh. Lambat kakinya beranjak merapat ke pohon ketapang
di tepi halaman sekolah. Mia sedang mengambil kain kassa tambahan. Beta
menyandarkan punggung dan mengangkat wajahnya hingga tengadah. Daun-daun lebar
yang digoyang oleh angin seperti menyapukan hawa segar di mukanya.
Sebelah tangan Beta kaku tertopang oleh sebilah papan dan dibalut dengan
perban elastis. Dia menaruh tangannya itu di atas pangkuannya. Mengapa Mia
begitu lama? Lalu siapa itu yang berjalan mendekatinya? Bukan Mia. Mungkinkah
itu Alfa? Kesadaran Beta berangsur menghilang.
@@
“Bet, Beta….”
Suara Papa terdengar berbeda. Berat, bergetar.
Pertama yang tertangkap oleh mata Beta saat membuka perlahan adalah Mia,
dalam pelukan seorang perempuan. Mungkin ibunya?
Kepalanya terasa berat saat menoleh. Muka Papa seperti belum tidur
selama dua hari. Beta selalu meminta Papa istirahat kalau kantong mata mulai
membayang di wajahnya. Papa suka lupa waktu kalau sudah mendesain di depan
komputer.
Ada yang mengusap bahu kiri Beta. Siapa? Beta harus memejamkan mata
saat menggeser kepalanya untuk menoleh ke kiri. Mamakah itu? Ternyata seperti
itu ya, wajah Mama bila sedang mencemaskanku, batin Beta. Tak tega Beta
melihatnya. Mama masih terlihat ayu meski kedua matanya tampak cekung dan
hidungnya yang berair. Itu bukan wajah bahagia milik Mama yang ingin Beta
lihat.
Alfa berdiri menempel pada Mama. Satu lengannya memeluk bahu Mama,
satu tangannya lagi meremas tangan Beta.
“Hai,” lirih Beta menyapa abangnya.
Tiba-tiba saja Alfa membungkuk, merengkuh kepala Beta dan menciumi
kedua pipi adiknya. Di telinga Beta dia berbisik, “ Kamu membuat kami semua
khawatir.”
Sekali lagi Beta menatap Mama. Kemana hilangnya semua rasa benci?
Beta merasa bagian hatinya untuk Mama mulai menghangat.
Anemia Hemolitik. Selama ini Beta mengira penyakitnya hanya anemia
biasa. Beta hanya tak boleh terlalu capek, tak boleh kepanasan, sesederhana
itu. Sedari kecil Beta dibiasakan mengudap cokelat. Alfa pun suka memberi cokelat
supaya Beta kuat. Tapi kali ini pecahnya sel darah merah miliknya terlalu
cepat, sampai menyebabkan dia hilang kesadaran.
“Untung saja kamu pingsan dalam posisi aman dan aku cepat menemukan
kamu, Bet.”
Daun ketapang dan seseorang yang berjalan mendekat. Dua hal terakhir
yang Beta ingat. Berarti orang itu memang Alfa, pikir Beta.
Di kamar ini tinggal mereka berempat. Mia sudah lama pulang setelah
susah payah menghentikan tangisnya. Di sofa sudut Mama dan Papa tengah
berbincang, entah tentang apa, yang jelas terlihat indah di mata Beta. Matanya
beralih pada kantung merah gelap di atas kepalanya.
“Itu darah Mama. Hanya Mama yang golongan darahnya sama denganmu,
ingat tidak?”
Oh, ada bagian dari Mama yang ada di dalam tubuhku, batin Beta. Itu
sebabnya bagian hati Beta untuk Mama tidak lagi mengeras. Kini selalu ada cinta
dari Mama untuknya.
*****
No comments:
Post a Comment