Babak 1
Hmm…, suara itu lagi. Dia datang untuk yang ke-4 kalinya minggu
ini. Minggu lalu 3 kali, minggu
sebelumnya 2 kali. Aku hapal betul kapan
saja dia kemari karena aku selalu
mencoret tanggal di kalender dengan stabillo merah muda. Jadi seperti penanda datang bulan punya Karin
di kantor, tapi punyaku lompat-lompat harinya, hehe…
Kali ini aku pura-pura keluar kamar
sambil menenteng mangkuk kotor bekas bakmi makan malamku dan berlama-lama
mencucinya di wastafel depan kamar Johan.
Lirikanku berbuah panggilan dari Nila, gadisnya Johan.
“Halo Sandi! Ada kue bandung nih, mau?” Nila yang centil ceriwis menghampiri dan
menyodorkan kardus yang isinya tinggal separuh itu padaku. Lalu tanpa permisi, menaruh dua potong kue
coklat legit itu ke dalam mangkukku yang sudah bersih meski masih basah.
“Aduh, thanks Nil,” aku jadi punya
alasan untuk melongok ke dalam kamar Johan.
Aku menganggukkan kepala pada teman tetangga kostku itu dan menyempatkan
sekilas memandangi sosok mungil nan manis yang sedang duduk membaca di belakang
Johan, Widi.
Hanya sekali aku bersapaan dengan
Widi, sahabat Nila itu. Waktu kami
dikenalkan. Suaranya adalah suara yang
paling lembut yang pernah aku dengar.
Senyumnya adalah senyum yang paling menawan yang pernah aku lihat. Dan matanya?
Teduhnya bukan main. Kok,
semuanya terasa berlebihan? Karena bukan
yang pertama kalinya aku merasakan yang seperti ini, jadi aku tahu kalau aku
sedang kasmaran.
Tanpa berani berlama-lama supaya
berkesempatan menyapa Widi, aku buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintunya. Volume televisi aku kecilkan supaya aku dapat
menangkap suara lembut Widi dari balik papan triplek yang membatasi kamarku dan
kamar Johan. Tapi dia memang kalem,
jarang berbicara, tidak seperti Nila.
Nila selalu mengajak Widi ketika menyambangi kost-an Johan. Katanya, “Supaya yang ketiga bukan
setan”. Hmm…, kalau Widi jadi pacarku,
Nila harus cari ‘obat nyamuk’ lain untuk menemaninya pacaran. Minggu depan sajalah aku beranikan
mengajaknya ngobrol, kalau perlu aku ajak makan bareng.
Sudah hampir dua minggu aku pulang
larut dari kantor, sejak awal bulan ini.
Kalenderku sepi dari coretan. Aku
kangen sama Widi dan berharap petang ini dia singgah di kamar sebelah, itulah
mengapa hari ini aku pulang di jam yang normal.
Ahh…, lamat-lamat terdengar suara
Nila bertimpalan dengan Johan.
Sepertinya mereka sedang menaiki tangga.
Oke, hari ini aku harus berani lebih dari sekedar menyapa.
Persis saat Johan memasukkan kunci
kamarnya, aku membuka pintuku. Widi
nggak ada diantara mereka.
“Halo Nil, tumben sendirian…,”
basa-basi busukku mengalir lancar, berusaha terdengar wajar.
“Lembur terus nih?” Johan menyela dengan pertanyaannya. Bikin pertanyaanku mentah saja. Huh!
“Iya, biasalah…, awal bulan….”
“Widi kemana Nil?” tanyaku lagi, sembari menuju jemuran handuk
dekat pagar tangga. Nila sedikit acuh
karena tengah asyik membalas pesan blackberry
sambil senyum-senyum mencurigakan.
“Oh…, masih di bawah. Ketahan sama Andi, hehe…”, jawab Nila tanpa
menoleh, lalu dia menepuk bahu Johan. “Gila
ya, Andi ternyata serius sama Widi. Baru
beberapa hari kemarin dia join sama
kita, hari ini udah berani nembak Widi loh beib…”
APAAA…?! Andi, tetangga kostku juga, kamarnya tepat di
samping kanan kamar Johan, sedangkan aku dikirinya. KOK BISA...?!
Green House, 09:26am - kuis flash fiction bersama Ibu-ibu Doyan Nulis
2 comments:
Jiahhhhh telat kann
kamu sih hehe
hahaha... keduluan,kasian deh lo.... :)
Post a Comment