“Beneran kamu suka sama dia?” Rini
mendekatkan wajahnya padaku. Maksudnya ingin berbisik-bisik, tapi
suaranya cukup kencang untuk didengar pengunjung kantin yang duduk di
meja sebelah kami.
“Iiiyaaa…, ih! Pelanin dong suaranya…, nggak sekalian pake toa?” ujarku kesal.
Rini mengikik sambil menutup mulutnya.
“Ntar aku cariin datanya di file karyawan ya…,” kali ini dia benar-benar
berbisik. Aku mengacungkan jempolku, tanda sepakat.
“Kring…!!!” dari display telepon mejaku terbaca nomor extension Rini.
Meski sudah kuangkat dan kutempelkan di telinga lekat-lekat, diseberang hanya terdengar suara berdesis-desis.
“Rin! Kalau di telepon mah nggak usah bisik-bisik segitunya kali…, malah kagak kedengeran….”
Di ujung sana Rini terbahak-bahak. “Sorry…, aku cuma mau laporan, cowok yang kamu suka itu berondong loh…”
“Oya?” aku terkesiap.
“Yup! Five years younger than you!”
“Hmmm…, ya udah deh…, thanks ya…”
Sebelumnya nggak ada bayangan sama sekali
kalau laki-laki itu lebih muda dari aku. Wajahnya tidak ‘boros’, biasa
saja. Kepribadiannya menarik. Karakternya tenang dan dari beberapa
kali aku sempat berbincang dengannya, wawasannya luas. Pokoknya tipikal
‘gue banget’ deh!
“Hei…, jangan lesu gitu dong…, ikut aku
sini!” Rini menggamit lenganku menuju kantin, hari ini kami janjian
makan siang sama-sama lagi. Kami menuju salah satu meja panjang, sudah
ada beberapa orang yang duduk disitu. Kebanyakan laki-laki, tapi tidak
satupun yang aku kenal.
“Eh, Rendy…” Tiba-tiba Rini menegur cowok yang duduk disebelahku.
“Oi, mbak Rini…, tumben nih makan di
kantin… Juragan biasanya ke kafe sebelah…”, Rendy membalas sapaan Rini
dengan akrab. Oww…, mereka sudah saling kenal rupanya. Tapi entah
sengaja atau tidak, Rini tidak memperkenalkan aku dengan si Rendy ini.
Hmm…, nggak sopan!
“Eh Ren, kamu kenal Baim nggak? Kamu ikutan team futsal kantor kan?”
Deg! Shock juga waktu Rini tiba-tiba menyebut nama laki-laki yang aku suka. Gawat nih anak!
Rendy mengiyakan. “Kenal banget lah mbak…, dia kan kaptennya. Kenapa? Naksir ya mbak?”
“Ah, enggak….,” Rini menyanggah tapi herannya pipinya memerah.
“Dia jomblo loh mbak, kalo mau aku bilangin
ke dia. Dia tuh…, biarpun masih muda, tapi udah pengen rumah tangga.
Dan nggak nolak kalo pun pasangannya nanti lebih tua dari dia. Yang
penting siap nikah!”
Boro-boro menanggapi, Rini justru melongo dan membiarkan Rendy bercerita panjang lebar tentang Baim.
“Menurutku Baim cocok sama mbak Rini,
seleranya Baim ya…kaya mbak Rini gitu deh…,” Rendy betul-betul seperti
tenaga marketing handal yang tengah memasarkan dagangannya. Bicaranya
nyaris tanpa jeda.
“Dia tuh nggak suka sama cewek yang pendiam, dia
lebih suka yang blak-blakkan. Jadi cowok kan nggak repot nebak-nebak
maunya si cewek tuh apa…. Jadi dia malah seneng sama cewek yang
ngutarain perasaannya duluan.”
Rini melirikku dengan tatapan mata ‘I am sorry…’.
Rendy berdiri, dia sudah selesai dengan
makanannya. “Mbak Rini, nanti malam ada latihan di D’Futsal belakang
kantor, datang aja. Barusan aku udah sms Baim, aku bilang dapat salam
dari mbak Rini. Nanti malam datang ya…” Rendy melambai sambil
mengedipkan matanya.
Rini mendadak gagu. Hanya bisa ber ‘ehh…ohh…ehh…ohh….’.
“Gimana dong, Grace?” tanyanya padaku kemudian.
Aku mengedikkan bahu. “Aku kan pendiam Rin, bukan selera dia….”
“Kalo gitu ntar temenin aku nonton futsal ya?” Muka imut Rini memelas dengan kocak.
HAAHHH…??!!
Poetridjoeni @Green House 6:40pm – kuis flash fiction bersama Ibu-ibu Doyan Nulis
No comments:
Post a Comment